Selasa, 14 Februari 2012

Pantai Ngebum Kaliwungu wisata 'murah meriah'

Ada hal yang menarik apa bila kita berkunjung ke kota Kaliwungu Kabupaten Kendal kurang lebih 20 KM arah barat Kota Semarang, selain terkenal sebagai kota santri yang terdapat banyak Pondok Pesantren, terdapat juga sejumlah obyek wisata ;terutama wisata di Pantai Ngebum, setiap hari libur maupun hari minggu ramai dikunjungi baik dari wisatawan lokal maupun luar daerah, Pantai yang lokasinya kurang lebih 4 KM kearah utara pusat kota Kaliwungu, berada di tengah antara Perusahaan Kayu Lapis Indonesia (PT. KLI) dan Pelabuhan Kendal. Sekarang obyek tersebut sudah mengalami banyak perubahan baik untuk PKL maupun Parkir dan mandi bilas, namun masih di sana sini perlu ada penataan yang lebih rapi sehingga tidak terkesan kotor. Di sini dibutuhkan sentuhan dari Pemda Kendal agar Pantai tersebut dapat menjadi asset bagi daerah sekaligus mensejahterakan masyarakat sekitar.

“Murah meriah” itulah kesan bila kita berkunjung di ngebum, terutama bagi pengunjung yang berkantong tipis, kiranya cukup dapat menghibur bagi keluarga. Tiket masuk hanya Rp. 2000 perorang. Suasana akan bertambah indah bila kita berkunjung pada pagi hari setelah subuh sambil menunggu terbitnya matahari dan melihat perahu-perahu nelayan dan kapal-kapal dari PT KLI.

Sebetulnya di kaliwungu ada wisata religi yaitu ziarah di makam-makam para ulama penyebar agama Islam di wilayah Kabupaten Kendal khususnya di kec. Kaliwungu. Dan tidak kalah menariknya oleh-oleh yang bisa buat kenang-kenangan makanan ringan khas kaliwungu ‘krupuk usek’ ;( krupuk goreng wedi).

Bila kita berkunjung di Kabupaten Kendal selain Kaliwungu ada alternatif obyek yang dapat dikunjungi, diantaranya air terjun curug sewu, kebun buah Plantera di Kec. Patean, pemandian air panas nglimut Gonoharjo, kampoeng Jowo Sekatul di Kec. Limbangan, Wisata air Nusantara di Kec. Boja, Goa Kiskendo di Kec. Singorojo, dan di kawasan pantura ada Pantai Si kucing dan Pantai Cahaya dengan atraksi lumba-lumba dan satwa langka di kec. Weleri . Dan sekarang selamat rekreasi bersama keluarga, Monggo pilih sing pundhi !

Senin, 06 Februari 2012

Tradisi Weh-wehan: Sambut Maulid Nabi Muhammad saw


Ada hal yang menarik setiap bulan Rabiul Awal tiba, khususnya di kota santri Kaliwungu Kendal. Pada saat mauludan, begitu orang menyebutnya, ada kemeriaahan di kampung-kampung menyambut kelahiran Nabi Muhammad saw, disamping pembacaan “barzanji” yang dimulai sejak tanggal 1 sampai tanggal 12 Rabiul Awal ada tradisi turun temurun di kota kecil itu, yaitu tradisi saling memberi dan menerima makanan kecil atau jajan antar tetangga yang dikenal dengan istilah “Weh-wehan” . Makanan khas pun sering muncul hanya pada saat acara tersebut; seperti sumpil (sejenis lontong namun bungkusnya dari daun bambu yang dibungkus segi tiga) disajikan dengan sambal kelapa muda, ketan abang ijo, ndok mimi (namun sekarang langka), dan sebagainya. Namun sekarang sejalan dengan perkembangan zaman masyarakat mencari praktisnya dengan mengeluarkan makanan ringan yang siap saji dari toko-toko modern.

Kemeriahan di Kaliwungu (tempat kecil penulis), dulu setiap bulan mulud (baca; Rabiul Awal) setiap rumahpun menghias terasnya dengan lampu-lampu hias tradisional dari bahan kertas warna dan lampu minyak tanah, dengan aneka bentuk yang lebih akrab disebut “Teng-tengan”. Hal ini pun sekarang semakin hilang bahkan punah, diganti dengan lampu warna-warni elektronik.

Masjid al Muttaqin biasanya menjadi sentral kegiatan yaitu dengan digelarnya festival al Muttaqin untuk menyambut kemeriahan peringatan Maulid Nabi. Lomba-lomba diadakan untuk melestarikan budaya lokal tersebut seperti; lomba rebana, teng-tengan, weh-wehan, baca al Qur’an, kaligrafi dan lain-lain.

Bila bulan mulud serasa ada kerinduan untuk mengenang masa kecil di kota santri yang dulu masih asli dengan nuansa ngaji yang kental, dan orang-orang sarungan, sungguh ‘ngangeni’. Bagaimana dulu senangnya bila sore hari memakai baju baru dan segera mengantar weh-wehan ke para tetangga dan saudara dan malam harinya mengikuti ‘barzanji” di musholla berdinding kayu.

Aduh sekarang tergerus dengan industrialisasi yang masuk ke kota santri sejak era 80-an, merubah sedikit demi sedikit nuansa kota santri menjadi sedikit berubah. Semoga terkenang!