Khasanah Islam

MELIHAT DARI DEKAT PERPUSTAKAAN MASJID NABAWI

Bagi kaum muslimin bila sedang haji atau umroh rasanya rugi apabila ada kesempatan berada di kota nabi Madinah al Munawaroh tidak menyempatkan diri mampir di salah satu sudut masjid Nabawi. Bahkan ketika mengerjakan Arbain sekalipun kadang jarang kaum muslimin berkunjung kesana. Ruang apa itu, yaitu Perpustakaan Masjid Nabawi .
Perpustakaan Masjid Nabawi (bahasa Arabمكتبة المسجد النبوي‎) adalah sebuah Perpustakaan modern yang terletak di Masjid NabawiMadinahArab Saudi. Perpustakaan ini didirikan pada tahun 1352 Hijriah atas usulan dari Direktur urusan Wakaf Kota Madinah, Syaikh Ubaid Madani. Kepala Perpustakaan yang pertama adalah Ahmad Yasin al-Khiyari. Sebagian buku-buku yang ada di perpustakaan ini merupakan buku yang diwakafkan sebelum berdirinya perpustakaan baru, antara lain wakaf dari Perpustakaan Syaikh Muhammad Aziz al-Wazir yang telah mewakafkan perpustakaannya pada tahun 1320 Hijriah.
Ruang baca yang representatif, nyaman untuk membaca. Dok.pribadi
Perpustakaan ini berada di barat pintu masuk Masjid Nabawi, pintu 12 lantai 2 masjid nabawi. selain sebagai tempat untuk beribadah shalat, Masjid Nabawi juga memiliki sebuah perpustakaan modern dengan koleksi buku yang mencapai puluhan ribu.
Rak. koleksi buku, lengkap. Dok.pribadi


Koleksi buku terbilang cukup lengkap, terdiri dari berbagai macam tema, seperti sirah nabawiyah, sejarah kota Madinah dan Makkah, buku-buku tentang sejarah kehidupan Rasulullah, buku karangan Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafii, Imam Hambali dan buku Ulumul Qur'an.


Sebagian besar koleksi buku perpustakaan berbahasa arab, namun ada satu ruangan khusus yang menyediakan buku-buku dengan bahasa asing, diantaranya bahasa Indonesia, Inggris, Urdu,Turki dan beberapa negara lain di dunia. 
Ruang baca dari berbagai bahasa dunia. Dok.pribadi
Ruang baca yang sangat lengkap, bersih  dan sejuk ini sayang apabila kita yang berkesempatan ziarah di makam Rasulullah saw di Masjid Nabawi tidak mampir melihat dari dekat sumber-sumber bacaan yang luar biasa, bahkan di setiap ruang baca juga disediakan sarana perpustakaan digital atau komputer. (Dari berbagai sumber)
Fasilitas komputer memudahkan pembaca untuk mencari sumber bacaan. Dok. pribadi



KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN IBNU MISKAWAIH

I.       PENDAHULUAN

1.    Latar belakang

Pendidikan merupakan salah satu aspek yang sangat penting untuk membentuk generasi yang siap mengganti tongkat estafet generasi tua dalam rangka membangun masa depan. Karena itu pendidikan berperan mensosialisasikan kemampuan baru kepada mereka agar mampu mengantisipasi tuntutan masyarakat yang dinamis.[[1]]
Pendidikan merupakan kebutuhan manusia, kebutuhan pribadi seseorang. Kebutuhan yang tidak dapat diganti dengan yang lain. Karena pendidikan merupakan kebutuhan setiap individu untuk mengembangkan kualitas, potensi dan bakat diri. Pendidikan membentuk manusia dari tidak mengetahui menjadi mengetahui, dari kebodohan menjadi kepintaran dari kurang faham menjadi paham, intinya adalah pendidikan membentuk jasmani dan rohani menjadi paripurna. Sebagaimana tujuan pendidikan menurut Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) UU RI No. 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 dinyatakan :
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”[[2]]

Dengan demikian secara konseptual pendidikan mempunyai peran strategis dalam membentuk anak didik menjadi manusia berkualitas, tidak saja dalam aspek skill, kognitif, afektif, psikomotorik, tetapi juga aspek spiritual hal ini membuktikan pendidikan mempunyai andil besar dalam mengarahkan anak didik mengembangkan potensi dan bakatnya. Melalui pendidikan, anak memungkinkan menjadi pribadi saleh, pribadi berkualitas secara skill, kognitif dan spiritual.
Sesuai dengan misi pemerintah untuk meningkatkan pendidikan karakter, dan mewujudkan revolusi mental bagi masyarakat Indonesia diperlukan adanya konsep-konsep yang riil dan jelas bagi arah pendidikan.
Pada masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama islam, sudah seharusnya umat islam harus bisa menjawab tantangan tersebut. Khususnya dalam dunia pendidikan islam harus bisa menjembatani pembentukan masyarakat yang berkepribadian dan berakhlakul karimah melalui lembaga-lembaga yang sudah ada. Tidak terkecuali peran masyarakat melalui pendidikan dalam keluarga.
Tantangan yang paling nyata bagi masyarakat kita sekarang ini adalah terdegradasinya moral masyarakat. Filter pada masing-masing individu tidak mampu membendung gempuran modernisasi dan globalisasi.
Oleh karena itu, perlu adanya landasan yang kuat untuk membenahi sebelum terlambat. Melalui pendidikan, khususnya pendidikan akhlak yang terarah dan konprehensif akan memberikan kontribusi nyata bagi negeri ini.
Dari problematika di atas perlunya membuka kembali sumbangsih pemikiran-pemikiran  dari para tokoh yang kompeten di bidang akhlak. Salah satunya adalah Ibnu Miskawaih yang kita kenal sebagai tokoh pendidikan akhlak di dunia Islam dapat dijadikan rujukan bagi perbaikan dan penyempurnaan sistem pendidikan di tanah air menuju masyarakat yang bermoral dan bermartabat sesuai dengan nilai-nilai islami. Dengan demikian makalah ini akan membedah bagaimana pemikiran Ibnu Miskawaih tentang pendidikan.

2.    Rumusan masalah
Dari latar  belakang  di atas , dapat ditarik rumusan sebagai berikut :
1.    Bagaimana biografi Ibnu Miskawaih dan karya-karyanya ?
2.      Bagaimana Konsep Pemikiran Pendidikan Menurut Ibnu Miskawaih?
3.      Bagaimana Relevansi Pemikiran Pendidikan Ibnu Miskawaih dengan   Pendidikan di Indonesia?





II.    PEMBAHASAN

1.         Biografi  Ibnu Miskawaih dan Karya-karyanya

a.    Biografi

Nama lengkap Ibn Miskawaih adalah Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub bin Miskawaih. Ia lahir di Rayy (Teheran, ibu kota Republik Islam Iran sekarang) pada tahun 320 H/932 M dan wafat pada usia lanjut di Isfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H/16 Pebruari 1030 M. Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihi di Baghdad(320-450 H/932-1062 M) yang sebagian besar pemukanya bermazhab Syi’ah.[[3]]
Puncak prestasi kekuasaan Bani Buwaih adalah pada masa ‘Adhud Al-Daulah yang berkuasa tahun 367-372 H, perhatiannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusastraan amat besar, sehingga pada masa ini Miskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan ‘Adhud Al-Daulah dan pada masa ini jugalah Miskawaih muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan dan pujangga. Tetapi keberhasilan politik dan kemajuan ilmu pengetahuan pada masa itu tidak dibarengi dengan ketinggian akhlak, bahkan dilanda kemerosotan akhlak secara umum, baik dikalangan elite, menengah, dan bawah. Tampaknya hal inilah yang memotivasi Miskawaih untuk memusatkan perhatiannya pada etika Islam.
 Pada zaman raja ‘Adhudiddaulah, Ibu Miskawaih juga mendapat kepercayaan besar dari raja karena diangkat sebagai penjaga (khazin) perpustakaannya yang besar, disamping sebagai penyimpan rahasianya dan utusannya ke pihak-pihak yang diperlukan.[[4]]
Dalam bidang  pekerjaan Ibn Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris,  pustakawan, dan  pendidik anak para pemuka dinasti Buwahi. Selain akrab dengan  penguasa, ia juga banyak bergaul dengan ilmuan seperti Abu Hayyan  at-Tauhidi, Yahya Ibn  ‘Adi dan Ibn Sina. Selain itu Ibnu Miskawaih juga dikenal sebagai sejarawan  besar  yang  kemasyhurannya melebihi  para pendahulunya, at-Thabari (w. 310 H./ 923 M.)  selanjutnya  juga  ia dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa. Keahlian Ibn Miskawaih dalam berbagai bidang ilmu tersebut antara lain dibuktikan dengan karya tulisnya berupa buku dan artikel.[[5]]
Ibnu Miskawaih seorang yang tekun dalam melakukan percobaan-percoabaan unuk mendapatkan ilmu-ilmu baru. Selain itu beliau dipercayakan oleh penguasa untuk mengajari dan mendidik anak-anak penjebat pemerintah, hal ini tentu menunjukkan bahwa ibnu Miskawaih dikenal keilmuannya oleh masyarakat luas ketika itu.
Ibnu Miskawaih juga digelari Guru ketiga ( al-Mualimin al-Tsalits ) setelah al-Farabi yang digelari guru kedua ( al-Mualimin al-Tsani) sedangkan yang dianggap guru pertama (al-Mualimin al-Awwal ) adalah Aristoteles. Sebagai Bapak Etika Islam, beliau telah merumuskan dasar-dasar etika dalam kitabnya Tahdzib al-Akhlak wa Tathir al-A’raq (pendidikan budi dan pembersihan akhlak). Sementara itu sumber filsafat etika Ibnu Miskawaih berasal dari filasafat Yunani, peradaban Persia, ajaran Syariat Islam, dan pengalaman pribadi.[[6]] Ibnu Miskawaih adalah seoarang teoritis dalam hal-hal akhlaq artinya ia telah mengupas filsafat akhlaqiyah secara analisa pengetahuan. Ini tidaklah berarti bahwa Ibnu Miskawaih tidak berakhlaq, hanya saja persoalannya ditinjau dari segi pengetahuan semata-mata.
b.   Karya-karyanya
Ibn Miskawaiah selain dikenal sebagai pemikir (filosuf), ia juga sebagai penulis produktif. Dalam buku The History of the Muslim Philosophy seperti yang dikutip oleh Sirajuddin Zar disebutkan beberapa tulisannya sebagai berikut:
a.  Al Fauz al Akbar (tentang etika)
b. Al Fauz al Asghar(tentang ketuhanan, jiwa, dan kenabian)
c.  Tajarib al Umam (sebuah sejarah tentang banjir besar yang ia tulis pada tahun   369 H/979 M)
d. Uns al Farid (Koleksi anekdot, syair, pribahasa, dan kata-kata hikmah)
e. Tartib al Sa`adat (tentang akhlak dan politik)
f.  Al Mustaufa (tentang syair-syair pilihan)
g. Jawidan Khirad (koleksi ungkapan bijak)
h. Al Jami`(tentang kenabian)
i.  Al Siyab(tentang tingkah laku kehidupan)
j.  Kitab al Ashribah (tentang minuman)
k. Tahzib al Aklaq(tentang akhlak)
l.   Risalat fi al Lazzat wa al Alam fi Jauhar al Nafs
m. Ajwibat wa As`ilat fi al Nafs wa al `Alaq
n.  Thaharat al Nafs (tentang kesucian jiwa) dan lain-lain.[[7]]

Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, bahwa semua karya Ibn Miskawaih tidak  luput dari kepentingan filsafat dan akhlak. Sehubungan dengan itu Ibnu Miskawaih dikenal sebagai moralis.[[8]]
2.    Konsep Pemikiran Ibnu Miskawaih

a.   Dasar-dasar etika
1). Pengertian Akhlak
Akhlak menurutnya adalah suatu sikap mental atau keadaan jiwa yang mendorongnya untuk berbuat tanpa pikir dan pertimbangan. Sementara tingkah laku manusia terbagi menjadi dua unsur, yakni unsur watak naluriah dan unsur kebiasaan dan latihan.[[9]] Ibnu Miskawaih adalah seorang moralis terkenal. Hampir setiap pembahasan akhlak dalam Islam, filsafatnya selalu mendapat perhatian utama. Akhlak adalah jamak dari khuluq yang artinya sikap, tindakan, tindak-tanduk dan sikap, inilah yang akan membentuk sikap kita dan inilah yang bisa dikomentar oleh orang lain berbeda dengan khalq atau ciptaan karena tidak bisa dikomentar dalam artian langsung ciptaan Allah swt semata seperti fisik manusia itu sendiri.
Menurut Ibnu Miskawaih, akhlak merupakan bentuk jamak dari khuluq,
الخلق حال للنفس داعية لها إلى أفعالها من غير فكر ولا روية [[10]]
Yang berarti keadaan jiwa yang mengajak atau mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa difikirkan dan diperhitungkan sebelumnya.[[11]]
Dengan kata lain akhlak adalah keadaaan jiwa yang mendorong timbulnya perbuatan-perbuatan secara spontan. Sikap jiwa atau keadaan jiwa seperti ini terbagi menjadi dua; ada yang berasal dari watak (bawaan) atau fitrah sejak kecil dan ada pula yang berasal dari kebiasaan latihan.[[12]] Dengan demikian, manusia dapat berusaha mengubah watak kejiwaan pembawaan fitrahnya yang tidak baik menjadi baik.
Ibnu Miskawaih memandang manusia adalah makhluk yang memiliki keistimewaan karena dalam kenyataannya manusia memiliki daya pikir dan manusia juga sebagai mahkluk yang memiliki macam-macam daya. Ibnu Miskawaih menonjolkan kelebihan jiwa manusia atas jiwa binatang dengan adanya kekuatan berfikir yang menjadi sumber tingkah laku, yang selalu mengarah kepada kebaikan.
Dari defenisi di atas jelaslah bahwa Ibnu Miskawaih menolak pendapat sebagian pemikir Yunani yang mengatakan bahwa akhlak atau moralitas manusia berasal dari watak dan tidak mungkin dapat berubah. Ia menegaskannya bahwa kemungkinan perubahan akhlak dan moralitas itu selalu terbuka lebar terutama bila dilakukan melalui pendidikan (tarbiyyah). Mengawali pembahasan tentang akhlak ini, Ibnu Miskawaih membahas atau memberi beberapa prinsip dasar tentang akhlak, yakni:[[13]]

  Tujuan ilmu akhlak adalah membawa manusia kepada kesempurnaan. Kesempurnaan manusia terletak pada pemikiran dan amal perbuatan. Yaitu kesempurnaan ilmu dan kesempurnaan amal. Tugas ilmu akhlak terbatas pada sisi amal perbuatan saja, yakni meluruskan akhlak dan mewujudkan kesempurnaan moral seseorang, sehingga tidak ada pertentangan antar berbagai daya dan semua perbuatannya lahir sesuai dengan daya berpikir.
  Kelezatan indrawi hanya sesuai dengan hewan tidak dengan manusia. Bagi manusia kelezatan akali adalah yang lebih sesuai dengan martabatnya sebagai manusia.
  Anak-anak harus di didik sesuai dengan akhlak yang mulia, disesuaikan dengan rencananya dengan urutan daya-daya yang mula-mula lahir padanya. Jadi, dimulai dengan jiwa keinginan, lalu jiwa marah, dan akhirnya jiwa berpikir. Rencana pendidikan juga dimulai dengan adab makan, minum, berpakaian (jiwa keinginan), lalu sifat-sifat berani dan daya tahan (jiwa marah) dan akhirnya sifat bernalar, sehingga akal dapat mendominasi segala tingkahlaku (jiwa pikir).


2).     Kebahagiaan (Sa’adah)
Miskawaih membedakan antara al-khair (kebaikan) dengan al-sa’adah (kebahagiaan). Dimana kebaikan menjadi tujuan semua orang: kebaikan umum bagi seluruh manusia dalam kedudukan sebagai manusia. Sedangkan kebahagiaan adalah kebaikan bagi seseorang, tidak bersifat umum, tetapi relatif tergantung kepada orang per orang.[[14]]
Ada dua pandangan pokok tentang kebahagiaan (sa`adah). Yang pertama diwakili oleh Plato yang mengatakan bahwa hanya jiwalah yang mengalami kebahagiaan. Karena itu selama manusia masih berhubungan dengan badan ia tidak akan memperoleh kebahagiaan. Pandangan kedua dipelopori oleh Aristoteles, yang mengatakan bahwa kebahagiaan dapat dinikmati di dunia walaupun jiwanya masih terkait dengan badan. Hanya saja, kebahagiaan berbeda menurut masing-masing orang seperti orang miskin memandang kebahagiaan itu pada kekayaan, dan orang sakit pada kesehatan, dan seterusnya.
Ibnu Miskawaih mencoba mengompromikan kedua pandangan yang berlawanan itu. Menurutnya, karena pada diri manusia ada dua unsur, yaitu jiwa dan badan, maka kebahagiaan meliputi keduanya. Hanya kebahagiaan badan lebih rendah tingkatnya dan tidak abadi sifatnya jika dibandingkan dengan kebahagiaan jiwa. Kebahagiaan yang bersifat benda mengandung kepedihan dan penyesalan, serta menghambat perkembangan jiwanya menuju ke hadirat Allah swt. Kebahagiaan jiwa merupakan kebahagiaan yang sempurna yang mampu mengantar manusia menuju derajat malaikat.
b.   Konsep manusia menurut Ibnu Miskawaih

Pemikiran pendidikan Ibnu Miskawaih tidak dapat dilepaskan dari konsepnya tentang manusia dan akhlak. Untuk kedua ini dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.   Jiwa – jasad dan Hubungan Keduanya.
Psikologi Miskawaih bertumpu pada ajaran spiritualistik tradisional Plato dan Aristoteles dengan kecenderungan Platonis. Pada tulisan awalnya Ibnu Miskawaihi menyatakan keterkaitan antara pembentukan watak dengan pendidikan dan ilmu jiwa. Katanya "Tujuan kami menyusun kitab ini (Tahzi-bul Akhlak) adalah untuk menghasiikan bagi diri kita suatu watak pribadi yang melahirkan perilaku yang baik seluruhnya dengan gampang, tak dibuat-buat lagi tanpa kesulitan (maksudnya perilaku yang baik lahir dari watak itu secara otomatis). Hal demikian diperoleh melalui proses pendidikan dan untuk memperoleh yang lebih dahulu mempelajari ilmu jiwa. "Jiwa itu menurut Ibnu Miskawaih adalah zat pada diri kita yang bukan berupa jasad, bukan pula bagian dari jasad, bukan pula aradh (sifat peserta pada substansi) wujudnya tidak memerlukan potensi tubuh, tapi dia jauhar basith (substansi yang tidak berdiri atas unsur-unsur) tak dapat diindra oleh pengindraan". Jiwa itu mempunyai aktifitas yang berlainan dengan aktifitas jasad serta bagian-bagiannya dengan segala sifat-sifatnya hingga tidak menyertainya dalam segala hal. Tegasnya jiwa itu bukan jasad, bukan pula bagian dari jasad. Jiwa itu tidak mengambil ruang, tidak berobah. Dia (jiwa) dapat menanggapi segala sesuatu secara serentak bersamaan dan tidak mengalami penyusutan, rusak atau berkurang.
Penggerak jasad manusia bukanlah jiwa malainkan natur materi itu sendiri. Oleh sebab itu, gerak jasad manusia bukanlah gerak melingkar tetapi berupa gerakan materi. Namun demikian, pada diri manusia terdapat jiwa al-nathiqat (berfikir).  Jiwa ini hakikatnya adalah akal yang berasal dari pancaran Tuhan. Jiwa yang oleh bahasa Al-Qur’an disebut al-ruh ditiupkan oleh Allah SWT tatkala janin sudah ada dalam rahim selama empat bulan[[15]]. Karena itu, jiwa yang demikian asal kejadiannya sama dengan asal kejadian malaikat. Jiwa pancaran Tuhan ini, menurut Ibnu Miskawaih bukan menjadi sebab tumbuh dan berkembangnya jasad janin manusia. Jasad janin manusia sudah tumbuh dan berkembang karena naturnya sendiri sebelum al-ruh ditiupkan Tuhan. Hakekatnya manusia memiliki dua unsur, yaitu jiwa sebagai wawasan spiritual berasal dari pancaran Tuhan dan jasad sebagai wawasan materialnya bermula dari alam materi. Paham dualis – jiwa  sebagai unsur ruhani dan jasad sebagai unsur materi – ini diterapkan juga oleh Ibnu Miskawaih terhadap setiap al – maujudat. Yang dimaksud Ibnu Miskawaih tentang unsur ruhani dalam al- maujudat  di luar manusia adalah daya gerak dari natur suatu benda. Kalau pernyataan ini benar, maka unsur ruhani yang ada pada manusia memiliki dua segi. Pertama, unsur ruhani yang memang sudah  ada pada natur jasad sebagai daya gerak dan berfungsi bagi tumbuh dan berkembangnya badan. Kedua, unsur ruhani yang berasal dari Tuhan yang datang setelah janin berumur empat bulan dalam kandungan ibu.
2.  Sumber perilaku dan kualitas mental
Yang dimaksud sumber perilaku disini adalah unsur pokok manusia yang menjadi sumber perilaku jasmani. Adapun kualitas mental yang dimaksud adalah unsur pokok manusia yang merupakan asas semua sifat batin (spiritual).
Menurut Ibnu Misawaih, unsur-unsur pokok yang menjadi sumber perilaku dan kualitas mental manusia tidak berkembang secara serempak. Daya yang pertama kali tampak pada diri manusia adalah daya bernafsu (al-bahimiyyat). Daya ini terwujud dalam aktifitas jasmani untuk makan-minum), tumbuh, dan berkembang biak.
Daya yang muncul sesudah itu adalah daya kebuasan/keberanian (al-ghadabiyyat). Daya ini melahirkan isyarat-isyarat gerak dan menangkap (melalui indra luar atau indra dalam) yang berguna bagi terpeliharanya hidup seperti bersuara kalau lapar dan meraba-raba untuk memperoleh makanan. Dengan daya ini manusia memiliki perilaku binatang, berupa kecenderungan untuk mengusir segala yang merugikan tubuh.
Adapun daya yang terakhir adalah daya berfikir (al-nathiqat). Daya ini merupakan daya kemanusiaan yang membedakannya dengan makhluk lain. Daya ini seara bertahap bisa mencapai kesempurnaan yang disebut oleh Ibnu Miskawaih dengan ‘aqil. Seperti telah disinggung sebelumnua, tingkat tertinggi daya ini adalah daya kerinduan kepada kebajikan mutlak (al-khair al-muthlaq) sehingga mampu menerima pancaran al-hikmat dari Tuhan. Daya seperti ini dapat juga dikatakan sebagai daya kemalaikatan dan ketuhanan. Karena daya ini merupakan sumber sifat cinta akan semua kebajikan dan pengetahuan.[[16]]
Ibnu Miskawaih menjelaskan bahwa, daya berfikir yang muncul pertama kali adalah daya malu. Di antara tanda datangnya masa ini ialah seseorang mulai memiliki kemampuan untuk membedakan yang baik dari yang buruk.
Dari uraian di atas dapat di pahami bahwa mekanisme kerja daya manusia bermula dari daya yang berpusat di perut dada kemudian disusul dengan berfungsinya daya yang berpusat di kepala.
Manusia yang mempunyai derajad paling tinggi yang dekat pada Allah adalah manusia yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan (manusia yang memiliki pengetahuan yang menyeluruh). Untuk meraih derajat manusia ideal harus dimulai dari kecintaan akan ilmu pengetahuan.
c.    Pokok keutamaan pendidikan akhlak menurut Ibnu Miskawaih

1.    Doktrin Jalan Tengah (Akhlak Moderasi)

Pemikiran Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak termasuk salah satu yang mendasari konsepnya dalam bidang pendidikan. Konsep akhlak yang ditawarkannya berdasar pada doktrin jalan tengah. Ibnu Miskawaih secara umum memberi pengertian pertengahan (jalan tengah) tersebut antara lain dengan keseimbangan atau posisi tengah antara dua ekstrim, akan tetapi Ibn Miskawaih cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrim kelebihan dan ekstrim kekurangan masing-masing jiwa manusia. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa jiwa manusia ada tiga yaitu jiwa bernafsu (al-bahimmiyah), jiwa berani (al-Ghadabiyyah) dan jiwa berpikir (an-nathiqah)
Menurut Ibn Miskawaih posisi tengah jiwa bernafsu (al-bahimmiyah) adalah al-iffah yaitu menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat seperti berzina. Selanjutnya posisi tengah jiwa berani adalah pewira atau keberanian yang diperhitungkan dengan masak untung ruginya. Sedangkan posisi tengah dari jiwa pemikiran adalah kebijaksanaan. Adapun perpaduan dari ketiga posisi tengah tersebut adalah keadilan atau keseimbangan. Ketiga keutamaan akhlak tersebut merupakan poko atau induk akhlak yang mulia. Akhlak-akhlak mulia lainnya seperti jujur, ikhlas, kasih sayang, hemat, dan sebagainya merupakan cabang dari ketiga induk ahklak tersebut.[[17]]
Dalam menguraikan sikap tengah dalam bentuk akhlak tersebut, Ibnu Miskawaih tidak membawa satu ayat pun dari al-Qur’an dan tidak pula membawa dalil dari hadits akan tetapi spirit doktrin ajaran tengah ini sejalan dengan ajaran islam. Hal ini karena banyak dijumpai ayat-ayat al-Qur’an yang memberi isyarat untuk itu, seperti tidak boleh boros tetapi juga tidak boleh kikir melainkan harus bersifat diantara kikir dan boros.
Sebagai makhluk sosial, manusia selalu dalam gerak dinamis mengikuti gerak zaman. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan, ekonomi dan lainnya merupakan pemicu bagi gerak zaman. Ukuran akhlak tengah selalu mengalami perubahan menurut perubahan ekstrim kekurangan dan ekstrim kelebihan. Ukuran tingkat kesederhanaan di bidang materi misalnya, pada masyarakat desa dan kota tidak dapat disamakan.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa doktrin jalan tengah ternyata tidak hanya memiliki nuansa dinamis tetapi juga flexibel. Oleh karena itu, doktrin tersebut dapat terus menerus berlaku sesuai dengan tantangan zamannya tanpa menghilangkan pokok keutamaan akhlak.[[18]]

2.    Konsep Pendidikan Akhlak

Dalam karangan-karangan beliau banyak menunjukkan hal-hal yang sifatnya material dalam kontek moral seperti pokok pendidikan akhlaknya ketika mengangkat persoalan-persoalan yang wajib bagi kebutuhan manusia dan jiwa sebagai hal wajib akan menentukan perubahan psikologis ketika terjadi interaksi sesama manusia.[[19]] Dari beberapa uraian diatas memberikan konsekwensi logis, dimana seluruh materi pendidikan pada umumnya merupakan hal yang wajib dipelajari didalam pendidikan moral/akhlak, seharusnya ilmu-ilmu yang diajarkan dalam proses pendidikan moral tidak hanya diperuntukkan sebagai tujuan akademik semata tetapi akan lebih bermamfaat ketika hal-hal yang bersifat subtansial/esensial dipenerapannya dalam hubungan sosial.
Dapat disimpulkan bahwasanya sifat utama itu antara lain: hikmah, berani, dan murah yang apabila ketiga sifat utama ini selaras, maka sifat keempat akan timbul darinya, yakni keadilan. Sedangkan lawan dari semua sifat itu adalah bodoh, rakus, penakut, dan zalim
Ibnu Miskawaih membangun konsep pendidikan yang bertumpu pada pendidikan akhlak. Karena dasar pendidikan Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak, maka konsep pendidikan yang dibangunnya pun adalah pendidikan akhlak. Konsep pendidikan akhlak dari Ibn Miskawaih [[20]]dikemukakan sebagai berikut:
     1)      Tujuan Pendidikan Akhlak
Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih adalah terwujudnya sikap bathin yang mampu mendorong serta spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati.
    2)      Fungsi Pendidikan
            a)       Memanusiakan manusia
            b)       Sosialisasi individu manusia
            c)       Menanamkan rasa malu
   3)      Materi Pendidikan Ahlak
Pada materi pendidikan Ibn Miskawaih ditujukan agar semua sisi kemanusiaan mendapatkan materi didikan yang memberi jalan bagi tercapainya tujuan pendidikan. Materi-materi yang dimaksud diabdikan pula sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT. Ibnu Miskawaih menyebutkan tiga hal yang dapat dipahami sebagai materi pendidikan akhlaknya yaitu:
a)       Hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia
b)       Hal-hal yang wajib bagi jiwa
c)       Hal-hal yang wajib bagi hubungannya
Materi pendidikan akhlak yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia antara lain shalat, puasa dan sa’i. selanjutnya materi pendidikan ahklak yang wajib dipelajari bagi kebutuhan jiwa dicontohkan oleh Ibn Miskawaih dengan pembahasan akidah yang benar, mengesakan Allah dengan segala kebesaran-Nya serta motivasi senang kepada ilmu dan materi yang terkait dengan keperluan manusia dengan manusia dicontohkan dengan materi ilmu Muammalat, perkawinan, saling menasehati, dan lain sebagainya.
Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih memang terlihat mengarah kepada terciptanya manusia agar sebagai filosuf. Karena itu Ibn Miskawaih memberikan uraian tentang sejumlah ilmu yang dapat di pelajari agar menjadi seorang filosuf. Ilmu tersebut ialah:
a)       Matematika
b)       Logika dan
c)       Ilmu kealaman
Jadi, jika dianalisa dengan secara seksama, bahwa berbagai ilmu pendidikan yang diajarkan Ibn Miskawaih dalam kegiatan pendidikan seharusnya tidak diajarkan semata-mata karena ilmu itu sendiri atau tujuan akademik tetapi  kepada tujuan yang lebih pokok yaitu akhlak yang mulia. Dengan kata lain setiap ilmu membawa misi akhlak yang mulia dan bukan semata-mata ilmu. Semakin banyak dan tinggi ilmu seseorang maka akan semakin tinggi pula akhlaknya.[[21]]

4)      Pendidik dan anak didik
Pendidik dan anak didik mendapat perhatian khusus dari Ibn Miskawaih. Menurutnya, orang tua tetap merupakan pendidik yang pertama bagi anak-anaknya karena peran yang demikian besar dari orang tua dalam kegiatan pendidikan, maka perlu adanya hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak yang didasarkan pada cinta kasih. Kecintaan anak didik terhadap gurunya menurut Ibn Miskawaih disamakan kedudukannya dengan kecintaan hamba kepada Tuhannya, akan tetapi karena tidak ada yang sanggup melakukannya maka Ibn Miskawaih mendudukan cinta murid terhadap gurunya berada diantara kecintaan terhadap orang tua dan kecintaan terhadap Tuhan.
Seorang guru menurut Ibn Miskawaih dianggap lebih berperan dalam mendidik kejiwaan muridnya dalam mencapai kejiwaan sejati. Guru sebagai orang yang dimuliakan dan kebaikan yang diberikannya adalah kebaikan illahi. Dengan demikian bahwa guru yang tidak mencapai derajat nabi, terutama dalam hal cinta kasih anak didik terhadap pendidiknya, dinilai sama dengan seorang teman atau saudara, karena dari mereka itu dapat juga diproleh ilmu dan adab.
Cinta murid terhadap guru biasa masih menempati posisi lebih tinggi daripada cinta anak terhadap orang tua, akan tetapi tidak mencapai cinta murid terhadap guru idealnya. Jadi posisi guru dapat juga diperoleh ilmu dan adab.
Adapun yang dimaksud guru biasa oleh Ibn Miskawaih adalah bukan dalam arti guru formal karena jabatan, tetapi guru biasa memiliki berbagai persyaratan antara lain: bisa dipercaya, pandai, dicintai, sejarah hidupnya tidak tercemar di masyarakat, dan menjadi cermin atau panutan, dan bahkan harus lebih mulia dari orang yang dididiknya.
Perlu hubungan cinta kasih antara guru dan murid dipandang demikian penting, karena terkait dengan keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar yang didasarkan atas cinta kasih antara guru dan murid dapat memberi dampak positif bagi keberhasilan pendidikan.

5)      Lingkungan pendidikan
Ibn Miskawaih berpendapat bahwa usaha mencapai kebahagiaan (as-sa’adah) tidak dapat dilakukan sendiri, tetapi harus berusaha atas dasar saling menolong dan saling melengkapi dan Ibnu Miskawaih juga berpendapat bahwa sebagai makhluk sosial, manusia kondisi yang baik dari luar dirinya. Selanjutnya ia menyatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah orang yang berbuat baik terhadap keluarga dan orang-orang yang masih ada kaitannya dengannya mulai dari saudara, anak, atau orang yang masih ada hubungannya dengan saudara atau anak, kerabat, keturunan, rekan, tetangga, kawan atau kekasih.[[22]]
Selanjutnya Ibn Miskawaih berpendapat bahwa salah satu tabiat manusia adalah memelihara diri karena itu manusia selalu berusaha untuk memperolehnya bersama dengan makhluk sejenisnya. Diantara cara untuk mencapainya adalah dengan sering bertemu. Manfaat dari hasil pertemuan diantaranya adalah akan memperkuat akidah yang benar dan kestabilan cinta kasih sesamanya. Upaya untuk ini, antara lain dengan melaksanakan kewajiban syari’at. Shalat berjama’ah menurut Ibn Miskawaih merupakan isyarat bagi adanya kewajiban untuk saling bertemu, sekurang-kurang satu minggu sekali. Pertemuan ini bukan saja dengan orang-orang yang berada dalam lingkungan terdekat tetapi sampai tingkat yang paling jauh.
Untuk mencapai keadaan lingkungan yang demikian itu, menurut Ibn Miskawaih terkait dengan politik pemerintahan. Kepala Negara berikut aparatnya mempunyai kewajiban untuk menciptakannya.
Karena itu, Ibn Miskawaih berpendapat bahwa agama dan negara ibarat dua saudara yang saling melengkapi satu dengan yang lainnya saling menyempurnakan.
Lingkungan pendidikan selama ini dikenal ada tiga lingkungan pendidikan yaitu lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ibn Miskawaih secara eksplisit tidak membicarakan ketiga masalah lingkungan tersebut. Ibnu Muskawaih membicarakan lingkungan pendidikan dengan cara bersifat umum, mulai dari lingkungan sekolah yang menyangkut hubungan guru dan murid, lingkungan pemerintah sampai lingkungan rumah tangga yang meliputi hubungan orang tua dengan anak. Lingkungan ini secara akumulatif berpengaruh terhadap terciptanya lingkungan pendidikan.

6)      Metodologi Pendidikan
Metodologi Ibn Miskawaih sasarannya adalah perbaikan akhlak, metode ini berkaitan dengan metode pendidikan akhlak. Ibn Miskawaih berpendirian bahwa masalah perbaikan akhlak bukanlah merupakan bawaan atau warisan melainkan bahwa akhlak seorang dapat diusahakan atau menerima perubahan yang diusahakan. Maka usaha-usaha untuk mengubahnya diperlukan adanya cara-cara yang efektif yang selanjutnya dikenal dengan istilah metodologi.
Ada beberapa metode diantaranya :
a.    Metode alami (tabi’iy)
Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa ide pokok dari metode alami ini adalah dalam pelaksanaan kerja dan proses mendidik itu berdasarkan atas pertumbuhan dan perkembangan manusia lahir batin, dan jasmaniah dan rohaniah.

b.   Nasihat dan tuntunan
Ibnu Miskawaih menyatakan supaya anak menaati syariat dan berbuat baik diperlukan nasihat dan tuntunan.
c.    Metode Hukuman
Ibnu Miskawaih mengindikasikan banyak sekali yang dapat dilakukan dalam mendidik salah satunya jika peserta didik tidak melaksanakan tata nilai yang telah diajarkan, mereka diberi sanksi berbagai cara sehingga mereka kembali pada tatanan nilai yang ada.
d.    Sanjungan dan pujian sebagai metode pendidikan
Menurutnya apabila peserta didik melaksanakan syariat dan berperilaku baik dia perlu dipuji.
e.   Mendidik berdasarkan asas-asas pendidikan
Menurutnya mendidik harus berdasarkan asas-asas pendidikan yaitu asas kesiapan, keteladanan, kebiasaan, dan pembiasaan. [[23]]
3.      Relevansi Pemikiran Pendidikan Ibnu Miskawaih dengan pendidikan di Indonesia

Bangsa Indonesia sebagai bangsa besar mempunyai pekerjaan yang berat dan luar biasa untuk menyiapkan generasi unggul yang diharapkan mampu mewarnai kehidupan kebangsaan dengan jiwa dan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan dan juga mampu menjawab berbagai problematika kekinian yang semakin komplek dan begitu cepat perubahannya.
Pendidikan sebagai ujung tombak menjadi garda depan dalam konteks menghadapi berbagai persoalan bangsa. Dalam Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah ditegaskan bahwa :
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”[[24]]
Untuk menjunjung tinggi martabat kehidupan bangsa peran pendidikan akhlak tidak bisa dianggap sepele. Membutuhkan keseriusan dan kerja secara sistematis. Peran keluarga, masyarakat, sekolah dan pemerintah harus saling bersinergi untuk mengawal proses pendidikan yang berbasis akhlak dan budi pekerti.
Konsep-konsep pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih kiranya dapat menjadi ruh bagi pengembangan program pemerintah melalui pendidikan karakter. Baik dari materi, metode maupun semangat yang telah dirintis oleh Seorang Ibnu Miskawaih dapat menjadi acuan dalam menerapkan pendidikan karakter di Indonesia.
Sebagaimana kita ketahui bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.
Adapun nilai-nilai karakter yang dikembangkan oleh pusat kurikulum meliputi nilai religius,  jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, mengharagai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli social dan tanggung jawab.
Disinilah perlunya ada kesadaran bagi semua warga negara bahwa kemunduran atau degradasi moral yang melanda negeri ini sudah sampai pada tingkat yang memprihatinkan , apabila tidak segera dibangun kembali jiwa menegakkan kebenaran dikhawatirkan masyarakat sudah merasa biasa melihat hal-hal keburukan bukan lagi dianggap sebagai penyimpangan, baik dari sisi agama maupun adat istiadat ketimuran.
Dari semua lini mulai keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha dan media massa harus berperan dan berkontribusi untuk semangat menjunjung nilai-nilai luhur sebagaimana diamanatkan Pancasila.
Oleh karena itu konsep pemikiran Ibnu Miskawaih mempunyai relevansi yang sangat kuat terhadap sistem pendidikan di Indonesia dalam pengembangan pendidikan karakter atau akhlak mulia. Dan akan berhasil dengan baik manakala dunia pendidikan keberhasilannya tidak hanya diukur dari pencapaian target angka-angka, tanpa juga melihat proses yang elegan dan sportif dengan mempertimbangkan akhlak anak didik.
Nostalgia adanya Pendidikan Moral Pancasila sebagai penyeimbang Pendidikan Agama serasa sangat dirindukan dengan sehingga moral anak bangsa yang semakin hari luntur segera dapat dikembalikan ke jalan yang semestinya.
Perlunya disadari bahwa selama ini regulasi yang melindungi guru sebagai pelaku proses pendidikan di Indonesia masih lemah, sehingga penerapan metode seperti apa yang dirumuskan oleh Ibnu Miskawaih masih menemui kendala terutama penerapan hukuman yang edukatif. Guru menjadi pihak yang lemah apabila dilihat dari perspektif HAM yang membabi buta. Wallahu a’alam.

III.             KESIMPULAN  DAN PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Akhlak menurut Ibnu Miskawaih adalah suatu sikap mental atau keadaan jiwa yang mendorongnya untuk berbuat tanpa pikir dan pertimbangan. Sementara tingkah laku manusia terbagi menjadi dua unsur, yakni unsur watak naluriah dan unsur kebiasaan dan latihan.
2.      Tujuan ilmu akhlak adalah membawa manusia kepada kesempurnaan. Kesempurnaan manusia terletak pada pemikiran dan amal perbuatan. Yaitu kesempurnaan ilmu dan kesempurnaan amal.
3.      Ibnu Miskawaih mencoba mengompromikan kedua pandangan Plato dan Aristoteles. Menurutnya, karena pada diri manusia ada dua unsur, yaitu jiwa dan badan, maka kebahagiaan meliputi keduanya. Hanya kebahagiaan badan lebih rendah tingkatnya dan tidak abadi sifatnya jika dibandingkan dengan kebahagiaan jiwa.
4.      Sumber prilaku manusia ada tiga yaitu daya nafsu (al bahimiyyah), daya kebuasan/keberanian (al ghadabiyyah0 dan daya berfikir (al nathiqah).
5.      Keberhasilan pendidikan akhlak dapat dicapai apabila adanya sinergi antara tujuan, materi, pendidik dan anak didik (keluarga, guru, lingkungan) dan metode yang tepat.
6.      Pendidikan karakter di Indonesia dapat berhasil apabila didukung dengan sumber daya manusia ( Pendidik dan anak didik) juga regulasi dari pemerintah.

B.     Penutup

Ibnu Miskawaih seorang filofos muslim yang memusatkan perhatiannya pada etika Islam. Meskipun sebenarnya ia adalah seorang sejarahwan, tabib, ilmuan dan sastrawan. Pengetahuannya sangat luas, terutama mengenai kebudayaan Romawi, Persia,dan India disamping ia menguasai filsafat Yunani.
Konsep akhlak yang dikembangkan Ibnu Miskawaih lebih dekat bila dikatakan sebagai etika religius-filosofis, karena pemikirannnya yang diutarkannya selalu didasarkan atas tuntunan ajaran agama. Sehingga tidak jarang apabila dalam tulisanya ditemukan berbagai ayat al Quran dan Hadits sebagai pendukung argumentasinya. Sementara itu, ia juga mengambil pemikiran-pemikiran para filosuf sebelumnya, terutama filsafat Aristoteles. Namun selanjutnya, menjadi lebih khas tulisan-tulisannya adalah ia memadukan antara hasil kerja filosuf dan ajaran syariat Islam.
Konsep pemikiran tentang akhlak dapat diadopsi sebagai khasanah pengembangan dan pendalaman pendidikan karakter di Indonesia.
Demikian , kritik dan saran konstruktif selalu diharapkan untuk kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
§  Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003)
§  Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992).
§  Ahmad Syar'i,Fisafat Pendidikan Islam(Jakarta:Pustaka Firdaus, 2005)
§  A. Mustafa, Fisafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997)
§  Departemen Agama RI, Al qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta, 1985)
§  Hasymsyah Nasution MA,Filsafat Islam(Jakarta:Gaya Media Pratama, 1999)
§  Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, (Beirut: Mansyurat al-Jamal, 2011)
§  Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung, Pustaka Setia,, 2011).
§  M.M.Syarif,Para Filosof Islam,cet.III.(Bandung:Mizan, 1996),
§  Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam. (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2005).
§  Muhaimin, Konsep Pendidikan Islam (Solo, ramadhan, 1991)
§  Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosuf dan Filsafatnya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009).
§  UU RI Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta UU RI No. 20 Tahun 2003




[1] Muhaimin, Konsep Pendidikan Islam (Solo, ramadhan, 1991), 9
[2] UU RI Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta UU RI No. 20 Tahun 2003.
[3] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosuf dan Filsafatnya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009). Hal. 127.

[4] Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992). Hal. 56.

[5] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003). Hal. 6
[6] Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam. (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2005). Hal.  327-328.

[7] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosuf  dan Filsafatnya,... Hal. 128-129
[8] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam,...Hal.  6.

[9] Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, (Beirut: Mansyurat al-Jamal, 2011), Hal. 265
[10] Ibid, hal.265
[11] A. Mustafa, Fisafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hal. 177.

[12] Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), Hal. 62
[13] A. Mustofa, Filsafat Islam, hal. 179
[14] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, hal. 13.
[15] Al Quranul Karim, diantara ayat yang menyebut persoalan ini ialah: 1) surat al-Hijr (15); 28-31, 2) surat al-Sajdat (32);7-9, 3) surat Shad (38);71-74
[16] M.M.Syarif,Para Filosof Islam,cet.III.(Bandung:Mizan, 1996),h.84
[17] Ahmad Syar'i,Fisafat Pendidikan Islam(Jakarta:Pustaka Firdaus, 2005),h.92
[18] Hasymsyah Nasution MA,Filsafat Islam(Jakarta:Gaya Media Pratama, 1999),h.61
[19] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, hal. 94
[20] Muhammad Yusuf Musa,Bain al-Din wa al-Falsafah(Kairo:Dar al-Ma'Arif, 1971),h.70
[21] Abuddin Nata,Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam…..,h.94
[22] Ahmad Syar'I,Fisafat Pendidikan Islam,h.94

[23] Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung, Pustaka Setia,, 2011).h.286-288
[24] UU RI Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta UU RI No. 20 Tahun 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar