MELIHAT
DARI DEKAT PERPUSTAKAAN MASJID NABAWI
Bagi kaum
muslimin bila sedang haji atau umroh rasanya rugi apabila ada kesempatan berada
di kota nabi Madinah al Munawaroh tidak menyempatkan diri mampir di salah satu
sudut masjid Nabawi. Bahkan ketika mengerjakan Arbain
sekalipun kadang jarang kaum muslimin berkunjung kesana. Ruang apa itu, yaitu
Perpustakaan Masjid Nabawi .
Perpustakaan Masjid Nabawi (bahasa Arab: مكتبة المسجد النبوي) adalah sebuah Perpustakaan modern yang terletak di Masjid Nabawi, Madinah, Arab Saudi. Perpustakaan ini didirikan pada tahun 1352 Hijriah atas
usulan dari Direktur urusan Wakaf Kota Madinah, Syaikh Ubaid Madani. Kepala
Perpustakaan yang pertama adalah Ahmad Yasin al-Khiyari. Sebagian buku-buku
yang ada di perpustakaan ini merupakan buku yang diwakafkan sebelum berdirinya
perpustakaan baru, antara lain wakaf dari Perpustakaan Syaikh Muhammad Aziz
al-Wazir yang telah mewakafkan perpustakaannya pada tahun 1320 Hijriah.
Ruang baca yang representatif, nyaman untuk membaca. Dok.pribadi |
Perpustakaan ini berada di barat pintu masuk Masjid Nabawi,
pintu 12 lantai 2 masjid nabawi. selain sebagai tempat untuk
beribadah shalat, Masjid Nabawi juga memiliki sebuah perpustakaan modern dengan
koleksi buku yang mencapai puluhan ribu.
Rak. koleksi buku, lengkap. Dok.pribadi |
Koleksi buku terbilang cukup lengkap,
terdiri dari berbagai macam tema, seperti sirah nabawiyah, sejarah kota Madinah
dan Makkah, buku-buku tentang sejarah kehidupan Rasulullah, buku karangan Imam
Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafii, Imam Hambali dan buku Ulumul Qur'an.
Sebagian besar koleksi buku perpustakaan berbahasa arab, namun ada satu ruangan khusus yang menyediakan buku-buku dengan bahasa asing, diantaranya bahasa Indonesia, Inggris, Urdu,Turki dan beberapa negara lain di dunia.
Ruang baca dari berbagai bahasa dunia. Dok.pribadi |
Ruang baca yang sangat lengkap, bersih dan sejuk ini sayang apabila kita yang berkesempatan ziarah di makam Rasulullah saw di Masjid Nabawi tidak mampir melihat dari dekat sumber-sumber bacaan yang luar biasa, bahkan di setiap ruang baca juga disediakan sarana perpustakaan digital atau komputer. (Dari berbagai sumber)
Fasilitas komputer memudahkan pembaca untuk mencari sumber bacaan. Dok. pribadi |
KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN IBNU MISKAWAIH
I. PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Pendidikan
merupakan salah satu aspek yang sangat penting untuk membentuk generasi yang
siap mengganti tongkat estafet generasi tua dalam rangka membangun masa depan.
Karena itu pendidikan berperan mensosialisasikan kemampuan baru kepada mereka
agar mampu mengantisipasi tuntutan masyarakat yang dinamis.[[1]]
Pendidikan
merupakan kebutuhan manusia, kebutuhan pribadi seseorang. Kebutuhan yang tidak
dapat diganti dengan yang lain. Karena pendidikan merupakan kebutuhan setiap
individu untuk mengembangkan kualitas, potensi dan bakat diri. Pendidikan
membentuk manusia dari tidak mengetahui menjadi mengetahui, dari kebodohan
menjadi kepintaran dari kurang faham menjadi paham, intinya adalah pendidikan
membentuk jasmani dan rohani menjadi paripurna. Sebagaimana tujuan pendidikan
menurut Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) UU RI No. 20 Tahun 2003 Bab II
Pasal 3 dinyatakan :
“Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.”[[2]]
Dengan
demikian secara konseptual pendidikan mempunyai peran strategis dalam membentuk
anak didik menjadi manusia berkualitas, tidak saja dalam aspek skill, kognitif,
afektif, psikomotorik, tetapi juga aspek spiritual hal ini membuktikan
pendidikan mempunyai andil besar dalam mengarahkan anak didik mengembangkan
potensi dan bakatnya. Melalui pendidikan, anak memungkinkan menjadi pribadi
saleh, pribadi berkualitas secara skill, kognitif dan spiritual.
Sesuai
dengan misi pemerintah untuk meningkatkan pendidikan karakter, dan mewujudkan
revolusi mental bagi masyarakat Indonesia diperlukan adanya konsep-konsep yang
riil dan jelas bagi arah pendidikan.
Pada
masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama islam, sudah seharusnya umat islam
harus bisa menjawab tantangan tersebut. Khususnya dalam dunia pendidikan islam
harus bisa menjembatani pembentukan masyarakat yang berkepribadian dan
berakhlakul karimah melalui lembaga-lembaga yang sudah ada. Tidak terkecuali
peran masyarakat melalui pendidikan dalam keluarga.
Tantangan
yang paling nyata bagi masyarakat kita sekarang ini adalah terdegradasinya
moral masyarakat. Filter pada masing-masing individu tidak mampu membendung
gempuran modernisasi dan globalisasi.
Oleh
karena itu, perlu adanya landasan yang kuat untuk membenahi sebelum terlambat.
Melalui pendidikan, khususnya pendidikan akhlak yang terarah dan konprehensif akan
memberikan kontribusi nyata bagi negeri ini.
Dari
problematika di atas perlunya membuka kembali sumbangsih
pemikiran-pemikiran dari para tokoh yang
kompeten di bidang akhlak. Salah satunya adalah Ibnu Miskawaih yang kita kenal
sebagai tokoh pendidikan akhlak di dunia Islam dapat dijadikan rujukan bagi
perbaikan dan penyempurnaan sistem pendidikan di tanah air menuju masyarakat
yang bermoral dan bermartabat sesuai dengan nilai-nilai islami. Dengan demikian
makalah ini akan membedah bagaimana pemikiran Ibnu Miskawaih tentang
pendidikan.
2. Rumusan masalah
Dari latar belakang di atas , dapat ditarik rumusan sebagai
berikut :
1. Bagaimana biografi Ibnu Miskawaih dan karya-karyanya ?
2. Bagaimana Konsep Pemikiran Pendidikan
Menurut Ibnu Miskawaih?
3. Bagaimana Relevansi Pemikiran
Pendidikan Ibnu Miskawaih dengan Pendidikan
di Indonesia?
II. PEMBAHASAN
1.
Biografi Ibnu Miskawaih dan Karya-karyanya
a. Biografi
Nama lengkap Ibn Miskawaih adalah Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub bin Miskawaih. Ia lahir di Rayy (Teheran, ibu kota Republik Islam Iran sekarang) pada tahun 320 H/932 M dan wafat pada usia lanjut di Isfahan pada
tanggal 9 Shafar 421 H/16 Pebruari 1030 M. Ibnu Miskawaih hidup pada masa
pemerintahan dinasti Buwaihi di Baghdad(320-450 H/932-1062
M) yang sebagian besar pemukanya bermazhab Syi’ah.[[3]]
Puncak prestasi kekuasaan Bani
Buwaih adalah pada masa ‘Adhud Al-Daulah yang berkuasa tahun 367-372 H,
perhatiannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusastraan amat
besar, sehingga pada masa ini Miskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi
bendaharawan ‘Adhud Al-Daulah dan pada masa ini jugalah Miskawaih muncul
sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan dan pujangga. Tetapi keberhasilan
politik dan kemajuan ilmu pengetahuan pada masa itu tidak dibarengi dengan
ketinggian akhlak, bahkan dilanda kemerosotan akhlak secara umum, baik
dikalangan elite, menengah, dan bawah. Tampaknya hal inilah yang memotivasi Miskawaih
untuk memusatkan perhatiannya pada etika Islam.
Pada zaman raja ‘Adhudiddaulah, Ibu Miskawaih
juga mendapat kepercayaan besar dari raja karena diangkat sebagai penjaga
(khazin) perpustakaannya yang besar, disamping sebagai penyimpan rahasianya dan
utusannya ke pihak-pihak yang diperlukan.[[4]]
Dalam bidang pekerjaan Ibn Miskawaih
adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan, dan pendidik anak para
pemuka dinasti Buwahi. Selain akrab dengan penguasa, ia juga banyak
bergaul dengan ilmuan seperti Abu Hayyan at-Tauhidi, Yahya Ibn ‘Adi
dan Ibn Sina.
Selain itu Ibnu Miskawaih juga dikenal sebagai sejarawan besar
yang kemasyhurannya melebihi para pendahulunya, at-Thabari (w. 310
H./ 923 M.) selanjutnya juga ia dikenal sebagai dokter,
penyair dan ahli bahasa. Keahlian Ibn Miskawaih dalam berbagai bidang ilmu
tersebut antara lain dibuktikan dengan karya tulisnya berupa buku dan artikel.[[5]]
Ibnu Miskawaih
seorang yang tekun dalam melakukan percobaan-percoabaan unuk mendapatkan
ilmu-ilmu baru. Selain itu beliau dipercayakan oleh penguasa untuk mengajari
dan mendidik anak-anak penjebat pemerintah, hal ini tentu menunjukkan bahwa
ibnu Miskawaih dikenal keilmuannya oleh masyarakat luas ketika itu.
Ibnu
Miskawaih juga digelari Guru ketiga ( al-Mualimin al-Tsalits )
setelah al-Farabi yang digelari guru kedua ( al-Mualimin al-Tsani)
sedangkan yang dianggap guru pertama (al-Mualimin al-Awwal ) adalah
Aristoteles. Sebagai Bapak Etika Islam, beliau telah merumuskan dasar-dasar
etika dalam kitabnya Tahdzib al-Akhlak wa Tathir al-A’raq (pendidikan
budi dan pembersihan akhlak). Sementara itu sumber filsafat etika Ibnu
Miskawaih berasal dari filasafat Yunani, peradaban Persia, ajaran Syariat
Islam, dan pengalaman pribadi.[[6]] Ibnu Miskawaih adalah seoarang teoritis dalam hal-hal akhlaq
artinya ia telah mengupas filsafat akhlaqiyah secara analisa pengetahuan. Ini
tidaklah berarti bahwa Ibnu Miskawaih tidak berakhlaq, hanya saja persoalannya
ditinjau dari segi pengetahuan semata-mata.
b. Karya-karyanya
Ibn Miskawaiah selain dikenal sebagai pemikir (filosuf), ia juga sebagai
penulis produktif. Dalam buku The History of the Muslim
Philosophy seperti yang dikutip oleh
Sirajuddin Zar disebutkan beberapa
tulisannya sebagai berikut:
a. Al Fauz al Akbar (tentang etika)
b. Al Fauz al Asghar(tentang ketuhanan, jiwa, dan
kenabian)
c. Tajarib al Umam (sebuah
sejarah tentang banjir besar yang ia tulis pada tahun 369 H/979 M)
d. Uns al Farid (Koleksi
anekdot, syair, pribahasa, dan kata-kata hikmah)
e. Tartib al Sa`adat (tentang akhlak dan
politik)
f. Al Mustaufa (tentang
syair-syair pilihan)
g. Jawidan Khirad (koleksi ungkapan
bijak)
h. Al Jami`(tentang kenabian)
i. Al Siyab(tentang tingkah laku kehidupan)
j. Kitab al Ashribah (tentang minuman)
k. Tahzib al Aklaq(tentang akhlak)
l. Risalat
fi al Lazzat wa al Alam fi Jauhar al Nafs
m. Ajwibat wa As`ilat fi al Nafs wa al `Alaq
Menurut
Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, bahwa semua karya Ibn
Miskawaih tidak luput dari kepentingan filsafat dan akhlak. Sehubungan
dengan itu Ibnu Miskawaih dikenal sebagai moralis.[[8]]
2. Konsep Pemikiran Ibnu Miskawaih
a. Dasar-dasar etika
1). Pengertian Akhlak
Akhlak menurutnya adalah suatu sikap
mental atau keadaan jiwa yang mendorongnya untuk berbuat tanpa pikir dan
pertimbangan. Sementara tingkah laku manusia terbagi menjadi dua unsur, yakni
unsur watak naluriah dan unsur kebiasaan dan latihan.[[9]] Ibnu Miskawaih adalah seorang
moralis terkenal. Hampir setiap pembahasan akhlak dalam Islam, filsafatnya
selalu mendapat perhatian utama. Akhlak adalah jamak dari khuluq yang artinya
sikap, tindakan, tindak-tanduk dan sikap, inilah yang akan membentuk sikap kita
dan inilah yang bisa dikomentar oleh orang lain berbeda dengan khalq atau
ciptaan karena tidak bisa dikomentar dalam artian langsung ciptaan Allah swt
semata seperti fisik manusia itu sendiri.
Menurut Ibnu Miskawaih, akhlak
merupakan bentuk jamak dari khuluq,
Yang berarti keadaan jiwa yang mengajak atau mendorong
seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa difikirkan dan
diperhitungkan sebelumnya.[[11]]
Dengan kata lain akhlak adalah
keadaaan jiwa yang mendorong timbulnya perbuatan-perbuatan secara spontan.
Sikap jiwa atau keadaan jiwa seperti ini terbagi menjadi dua; ada yang berasal
dari watak (bawaan) atau fitrah sejak kecil dan ada pula yang berasal dari
kebiasaan latihan.[[12]] Dengan demikian, manusia dapat
berusaha mengubah watak kejiwaan pembawaan fitrahnya yang tidak baik menjadi
baik.
Ibnu Miskawaih memandang manusia adalah
makhluk yang memiliki keistimewaan karena dalam kenyataannya manusia memiliki
daya pikir dan manusia juga sebagai mahkluk yang memiliki macam-macam daya.
Ibnu Miskawaih menonjolkan kelebihan jiwa manusia atas jiwa binatang dengan
adanya kekuatan berfikir yang menjadi sumber tingkah laku, yang selalu mengarah
kepada kebaikan.
Dari defenisi di atas jelaslah bahwa
Ibnu Miskawaih menolak pendapat sebagian pemikir Yunani yang mengatakan bahwa
akhlak atau moralitas manusia berasal dari watak dan tidak mungkin dapat
berubah. Ia menegaskannya bahwa kemungkinan perubahan akhlak dan moralitas itu
selalu terbuka lebar terutama bila dilakukan melalui pendidikan (tarbiyyah).
Mengawali pembahasan tentang akhlak ini, Ibnu Miskawaih membahas atau memberi
beberapa prinsip dasar tentang akhlak, yakni:[[13]]
Tujuan ilmu akhlak
adalah membawa manusia kepada kesempurnaan. Kesempurnaan manusia terletak pada
pemikiran dan amal perbuatan. Yaitu kesempurnaan ilmu dan kesempurnaan amal.
Tugas ilmu akhlak terbatas pada sisi amal perbuatan saja, yakni meluruskan
akhlak dan mewujudkan kesempurnaan moral seseorang, sehingga tidak ada pertentangan
antar berbagai daya dan semua perbuatannya lahir sesuai dengan daya berpikir.
Kelezatan indrawi hanya
sesuai dengan hewan tidak dengan manusia. Bagi manusia kelezatan akali adalah
yang lebih sesuai dengan martabatnya sebagai manusia.
Anak-anak harus di
didik sesuai dengan akhlak yang mulia, disesuaikan dengan rencananya dengan
urutan daya-daya yang mula-mula lahir padanya. Jadi, dimulai dengan jiwa
keinginan, lalu jiwa marah, dan akhirnya jiwa berpikir. Rencana pendidikan juga
dimulai dengan adab makan, minum, berpakaian (jiwa keinginan), lalu sifat-sifat
berani dan daya tahan (jiwa marah) dan akhirnya sifat bernalar, sehingga akal
dapat mendominasi segala tingkahlaku (jiwa pikir).
2). Kebahagiaan (Sa’adah)
Miskawaih membedakan antara al-khair
(kebaikan) dengan al-sa’adah (kebahagiaan). Dimana kebaikan menjadi tujuan
semua orang: kebaikan umum bagi seluruh manusia dalam kedudukan sebagai
manusia. Sedangkan kebahagiaan adalah kebaikan bagi seseorang, tidak bersifat
umum, tetapi relatif tergantung kepada orang per orang.[[14]]
Ada dua pandangan pokok tentang
kebahagiaan (sa`adah). Yang pertama diwakili oleh Plato yang mengatakan bahwa
hanya jiwalah yang mengalami kebahagiaan. Karena itu selama manusia masih
berhubungan dengan badan ia tidak akan memperoleh kebahagiaan. Pandangan kedua
dipelopori oleh Aristoteles, yang mengatakan bahwa kebahagiaan dapat dinikmati
di dunia walaupun jiwanya masih terkait dengan badan. Hanya saja, kebahagiaan
berbeda menurut masing-masing orang seperti orang miskin memandang kebahagiaan
itu pada kekayaan, dan orang sakit pada kesehatan, dan seterusnya.
Ibnu Miskawaih mencoba
mengompromikan kedua pandangan yang berlawanan itu. Menurutnya, karena pada
diri manusia ada dua unsur, yaitu jiwa dan badan, maka kebahagiaan meliputi
keduanya. Hanya kebahagiaan badan lebih rendah tingkatnya dan tidak abadi
sifatnya jika dibandingkan dengan kebahagiaan jiwa. Kebahagiaan yang bersifat
benda mengandung kepedihan dan penyesalan, serta menghambat perkembangan
jiwanya menuju ke hadirat Allah swt. Kebahagiaan jiwa merupakan kebahagiaan
yang sempurna yang mampu mengantar manusia menuju derajat malaikat.
b. Konsep manusia menurut Ibnu Miskawaih
Pemikiran pendidikan Ibnu
Miskawaih tidak dapat dilepaskan dari konsepnya tentang manusia dan akhlak.
Untuk kedua ini dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Jiwa – jasad dan Hubungan Keduanya.
Psikologi
Miskawaih bertumpu pada ajaran spiritualistik tradisional Plato dan Aristoteles
dengan kecenderungan Platonis. Pada tulisan awalnya Ibnu Miskawaihi menyatakan
keterkaitan antara pembentukan watak dengan pendidikan dan ilmu jiwa. Katanya
"Tujuan kami menyusun kitab ini (Tahzi-bul Akhlak) adalah untuk
menghasiikan bagi diri kita suatu watak pribadi yang melahirkan perilaku yang
baik seluruhnya dengan gampang, tak dibuat-buat lagi tanpa kesulitan (maksudnya
perilaku yang baik lahir dari watak itu secara otomatis). Hal demikian
diperoleh melalui proses pendidikan dan untuk memperoleh yang lebih dahulu
mempelajari ilmu jiwa. "Jiwa itu menurut Ibnu Miskawaih adalah zat pada
diri kita yang bukan berupa jasad, bukan pula bagian dari jasad, bukan pula aradh
(sifat peserta pada substansi) wujudnya tidak memerlukan potensi tubuh, tapi
dia jauhar basith (substansi yang tidak berdiri atas unsur-unsur) tak dapat
diindra oleh pengindraan". Jiwa itu mempunyai aktifitas yang berlainan
dengan aktifitas jasad serta bagian-bagiannya dengan segala sifat-sifatnya
hingga tidak menyertainya dalam segala hal. Tegasnya jiwa itu bukan jasad,
bukan pula bagian dari jasad. Jiwa itu tidak mengambil ruang, tidak berobah.
Dia (jiwa) dapat menanggapi segala sesuatu secara serentak bersamaan dan tidak
mengalami penyusutan, rusak atau berkurang.
Penggerak
jasad manusia bukanlah jiwa malainkan natur materi itu sendiri. Oleh sebab itu,
gerak jasad manusia bukanlah gerak melingkar tetapi berupa gerakan materi.
Namun demikian, pada diri manusia terdapat jiwa al-nathiqat
(berfikir). Jiwa ini hakikatnya adalah akal yang berasal dari pancaran
Tuhan. Jiwa yang oleh bahasa Al-Qur’an disebut al-ruh ditiupkan oleh
Allah SWT tatkala janin sudah ada dalam rahim selama empat bulan[[15]].
Karena itu, jiwa yang demikian asal kejadiannya sama dengan asal kejadian
malaikat. Jiwa pancaran Tuhan ini, menurut Ibnu Miskawaih bukan menjadi sebab
tumbuh dan berkembangnya jasad janin manusia. Jasad janin manusia sudah tumbuh
dan berkembang karena naturnya sendiri sebelum al-ruh ditiupkan Tuhan.
Hakekatnya manusia memiliki dua unsur, yaitu jiwa sebagai wawasan spiritual
berasal dari pancaran Tuhan dan jasad sebagai wawasan materialnya bermula dari
alam materi. Paham dualis – jiwa sebagai unsur ruhani dan jasad sebagai
unsur materi – ini diterapkan juga oleh Ibnu Miskawaih terhadap setiap al –
maujudat. Yang dimaksud Ibnu Miskawaih tentang unsur ruhani dalam al-
maujudat di luar manusia adalah daya gerak dari natur suatu benda.
Kalau pernyataan ini benar, maka unsur ruhani yang ada pada manusia memiliki
dua segi. Pertama, unsur ruhani yang memang sudah ada pada natur
jasad sebagai daya gerak dan berfungsi bagi tumbuh dan berkembangnya badan. Kedua,
unsur ruhani yang berasal dari Tuhan yang datang setelah janin berumur empat
bulan dalam kandungan ibu.
2. Sumber perilaku dan kualitas mental
Yang
dimaksud sumber perilaku disini adalah unsur pokok manusia yang menjadi sumber
perilaku jasmani. Adapun kualitas mental yang dimaksud adalah unsur pokok manusia
yang merupakan asas semua sifat batin (spiritual).
Menurut Ibnu
Misawaih, unsur-unsur pokok yang menjadi sumber perilaku dan kualitas mental
manusia tidak berkembang secara serempak. Daya yang pertama kali tampak pada
diri manusia adalah daya bernafsu (al-bahimiyyat). Daya ini terwujud
dalam aktifitas jasmani untuk makan-minum), tumbuh, dan berkembang biak.
Daya yang
muncul sesudah itu adalah daya kebuasan/keberanian (al-ghadabiyyat).
Daya ini melahirkan isyarat-isyarat gerak dan menangkap (melalui indra luar
atau indra dalam) yang berguna bagi terpeliharanya hidup seperti bersuara kalau
lapar dan meraba-raba untuk memperoleh makanan. Dengan daya ini manusia
memiliki perilaku binatang, berupa kecenderungan untuk mengusir segala yang
merugikan tubuh.
Adapun daya
yang terakhir adalah daya berfikir (al-nathiqat). Daya ini merupakan
daya kemanusiaan yang membedakannya dengan makhluk lain. Daya ini seara
bertahap bisa mencapai kesempurnaan yang disebut oleh Ibnu Miskawaih dengan ‘aqil.
Seperti telah disinggung sebelumnua, tingkat tertinggi daya ini adalah daya
kerinduan kepada kebajikan mutlak (al-khair al-muthlaq) sehingga mampu
menerima pancaran al-hikmat dari Tuhan. Daya seperti ini dapat juga dikatakan
sebagai daya kemalaikatan dan ketuhanan. Karena daya ini merupakan sumber sifat
cinta akan semua kebajikan dan pengetahuan.[[16]]
Ibnu
Miskawaih menjelaskan bahwa, daya berfikir yang muncul pertama kali adalah daya
malu. Di antara tanda datangnya masa ini ialah seseorang mulai memiliki
kemampuan untuk membedakan yang baik dari yang buruk.
Dari uraian
di atas dapat di pahami bahwa mekanisme kerja daya manusia bermula dari daya
yang berpusat di perut dada kemudian disusul dengan berfungsinya daya yang
berpusat di kepala.
Manusia yang mempunyai derajad paling
tinggi yang dekat pada Allah adalah manusia yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan
(manusia yang memiliki pengetahuan yang menyeluruh). Untuk meraih derajat
manusia ideal harus dimulai dari kecintaan akan ilmu pengetahuan.
c. Pokok keutamaan pendidikan akhlak menurut Ibnu Miskawaih
1.
Doktrin Jalan Tengah
(Akhlak Moderasi)
Pemikiran Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak termasuk salah satu yang
mendasari konsepnya dalam bidang pendidikan. Konsep akhlak yang ditawarkannya
berdasar pada doktrin jalan tengah. Ibnu Miskawaih secara umum memberi
pengertian pertengahan (jalan tengah) tersebut antara lain dengan keseimbangan
atau posisi tengah antara dua ekstrim, akan tetapi Ibn Miskawaih cenderung
berpendapat bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah
antara ekstrim kelebihan dan ekstrim kekurangan masing-masing jiwa manusia.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa jiwa manusia ada tiga yaitu jiwa
bernafsu (al-bahimmiyah), jiwa berani (al-Ghadabiyyah) dan jiwa berpikir
(an-nathiqah)
Menurut Ibn Miskawaih posisi tengah jiwa bernafsu (al-bahimmiyah) adalah
al-iffah yaitu menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat seperti berzina.
Selanjutnya posisi tengah jiwa berani adalah pewira atau keberanian yang
diperhitungkan dengan masak untung ruginya. Sedangkan posisi tengah dari jiwa
pemikiran adalah kebijaksanaan. Adapun perpaduan dari ketiga posisi tengah
tersebut adalah keadilan atau keseimbangan. Ketiga keutamaan akhlak tersebut
merupakan poko atau induk akhlak yang mulia. Akhlak-akhlak mulia lainnya
seperti jujur, ikhlas, kasih sayang, hemat, dan sebagainya merupakan cabang
dari ketiga induk ahklak tersebut.[[17]]
Dalam menguraikan sikap tengah dalam bentuk akhlak tersebut, Ibnu Miskawaih
tidak membawa satu ayat pun dari al-Qur’an dan tidak pula membawa dalil dari
hadits akan tetapi spirit doktrin ajaran tengah ini sejalan dengan ajaran
islam. Hal ini karena banyak dijumpai ayat-ayat al-Qur’an yang memberi isyarat
untuk itu, seperti tidak boleh boros tetapi juga tidak boleh kikir melainkan
harus bersifat diantara kikir dan boros.
Sebagai makhluk sosial, manusia selalu dalam gerak dinamis mengikuti gerak
zaman. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan, ekonomi dan
lainnya merupakan pemicu bagi gerak zaman. Ukuran akhlak tengah selalu
mengalami perubahan menurut perubahan ekstrim kekurangan dan ekstrim kelebihan.
Ukuran tingkat kesederhanaan di bidang materi misalnya, pada masyarakat desa
dan kota tidak dapat disamakan.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa doktrin jalan tengah ternyata
tidak hanya memiliki nuansa dinamis tetapi juga flexibel. Oleh karena itu,
doktrin tersebut dapat terus menerus berlaku sesuai dengan tantangan zamannya
tanpa menghilangkan pokok keutamaan akhlak.[[18]]
2.
Konsep Pendidikan Akhlak
Dalam
karangan-karangan beliau banyak menunjukkan hal-hal yang sifatnya material
dalam kontek moral seperti pokok pendidikan akhlaknya ketika mengangkat
persoalan-persoalan yang wajib bagi kebutuhan manusia dan jiwa sebagai hal
wajib akan menentukan perubahan psikologis ketika terjadi interaksi sesama
manusia.[[19]] Dari beberapa uraian diatas
memberikan konsekwensi logis, dimana seluruh materi pendidikan pada umumnya
merupakan hal yang wajib dipelajari didalam pendidikan moral/akhlak, seharusnya
ilmu-ilmu yang diajarkan dalam proses pendidikan moral tidak hanya
diperuntukkan sebagai tujuan akademik semata tetapi akan lebih bermamfaat
ketika hal-hal yang bersifat subtansial/esensial dipenerapannya dalam hubungan
sosial.
Dapat
disimpulkan bahwasanya sifat utama itu antara lain: hikmah, berani, dan murah
yang apabila ketiga sifat utama ini selaras, maka sifat keempat akan timbul
darinya, yakni keadilan. Sedangkan lawan dari semua sifat itu adalah bodoh,
rakus, penakut, dan zalim
Ibnu Miskawaih membangun konsep pendidikan yang bertumpu
pada pendidikan akhlak. Karena dasar pendidikan Ibn Miskawaih dalam bidang
akhlak, maka konsep pendidikan yang dibangunnya pun adalah pendidikan akhlak.
Konsep pendidikan akhlak dari Ibn Miskawaih [[20]]dikemukakan sebagai berikut:
1)
Tujuan Pendidikan Akhlak
Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih
adalah terwujudnya sikap bathin yang mampu mendorong serta spontan untuk
melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan
dan memperoleh kebahagiaan sejati.
2)
Fungsi Pendidikan
a)
Memanusiakan manusia
b)
Sosialisasi individu manusia
c)
Menanamkan rasa malu
3)
Materi Pendidikan Ahlak
Pada materi pendidikan Ibn Miskawaih ditujukan agar semua
sisi kemanusiaan mendapatkan materi didikan yang memberi jalan bagi tercapainya
tujuan pendidikan. Materi-materi yang dimaksud diabdikan pula sebagai bentuk
pengabdian kepada Allah SWT. Ibnu Miskawaih menyebutkan tiga hal yang dapat
dipahami sebagai materi pendidikan akhlaknya yaitu:
a)
Hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia
b)
Hal-hal yang wajib bagi jiwa
c)
Hal-hal yang wajib bagi hubungannya
Materi pendidikan akhlak yang wajib bagi kebutuhan tubuh
manusia antara lain shalat, puasa dan sa’i. selanjutnya materi pendidikan
ahklak yang wajib dipelajari bagi kebutuhan jiwa dicontohkan oleh Ibn Miskawaih
dengan pembahasan akidah yang benar, mengesakan Allah dengan segala
kebesaran-Nya serta motivasi senang kepada ilmu dan materi yang terkait dengan
keperluan manusia dengan manusia dicontohkan dengan materi ilmu Muammalat,
perkawinan, saling menasehati, dan lain sebagainya.
Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih
memang terlihat mengarah kepada terciptanya manusia agar sebagai filosuf.
Karena itu Ibn Miskawaih memberikan uraian tentang sejumlah ilmu yang dapat di
pelajari agar menjadi seorang filosuf. Ilmu tersebut ialah:
a)
Matematika
b)
Logika dan
c)
Ilmu kealaman
Jadi, jika dianalisa dengan secara seksama, bahwa
berbagai ilmu pendidikan yang diajarkan Ibn Miskawaih dalam kegiatan pendidikan
seharusnya tidak diajarkan semata-mata karena ilmu itu sendiri atau tujuan
akademik tetapi kepada tujuan yang lebih pokok yaitu akhlak yang mulia.
Dengan kata lain setiap ilmu membawa misi akhlak yang mulia dan bukan
semata-mata ilmu. Semakin banyak dan tinggi ilmu seseorang maka akan semakin
tinggi pula akhlaknya.[[21]]
4) Pendidik dan anak didik
Pendidik dan anak didik mendapat perhatian khusus dari
Ibn Miskawaih. Menurutnya, orang tua tetap merupakan pendidik yang pertama bagi
anak-anaknya karena peran yang demikian besar dari orang tua dalam kegiatan
pendidikan, maka perlu adanya hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak
yang didasarkan pada cinta kasih. Kecintaan anak didik terhadap gurunya menurut
Ibn Miskawaih disamakan kedudukannya dengan kecintaan hamba kepada Tuhannya,
akan tetapi karena tidak ada yang sanggup melakukannya maka Ibn Miskawaih
mendudukan cinta murid terhadap gurunya berada diantara kecintaan terhadap
orang tua dan kecintaan terhadap Tuhan.
Seorang guru menurut Ibn Miskawaih dianggap lebih
berperan dalam mendidik kejiwaan muridnya dalam mencapai kejiwaan sejati. Guru
sebagai orang yang dimuliakan dan kebaikan yang diberikannya adalah kebaikan
illahi. Dengan demikian bahwa guru yang tidak mencapai derajat nabi, terutama
dalam hal cinta kasih anak didik terhadap pendidiknya, dinilai sama dengan
seorang teman atau saudara, karena dari mereka itu dapat juga diproleh ilmu dan
adab.
Cinta murid terhadap guru biasa masih menempati posisi
lebih tinggi daripada cinta anak terhadap orang tua, akan tetapi tidak mencapai
cinta murid terhadap guru idealnya. Jadi posisi guru dapat juga diperoleh ilmu dan adab.
Adapun yang dimaksud guru biasa oleh Ibn Miskawaih adalah
bukan dalam arti guru formal karena jabatan, tetapi guru biasa memiliki
berbagai persyaratan antara lain: bisa dipercaya, pandai, dicintai, sejarah
hidupnya tidak tercemar di masyarakat, dan menjadi cermin atau panutan, dan
bahkan harus lebih mulia dari orang yang dididiknya.
Perlu hubungan cinta kasih antara guru dan murid
dipandang demikian penting, karena terkait dengan keberhasilan kegiatan belajar
mengajar. Kegiatan belajar mengajar yang didasarkan atas cinta kasih antara
guru dan murid dapat memberi dampak positif bagi keberhasilan pendidikan.
5) Lingkungan pendidikan
Ibn Miskawaih berpendapat bahwa usaha mencapai
kebahagiaan (as-sa’adah) tidak dapat dilakukan sendiri, tetapi harus berusaha
atas dasar saling menolong dan saling melengkapi dan Ibnu Miskawaih juga
berpendapat bahwa sebagai makhluk sosial, manusia kondisi yang baik dari luar
dirinya. Selanjutnya ia menyatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah orang yang
berbuat baik terhadap keluarga dan orang-orang yang masih ada kaitannya
dengannya mulai dari saudara, anak, atau orang yang masih ada hubungannya
dengan saudara atau anak, kerabat, keturunan, rekan, tetangga, kawan atau
kekasih.[[22]]
Selanjutnya Ibn Miskawaih berpendapat bahwa salah satu
tabiat manusia adalah memelihara diri karena itu manusia selalu berusaha untuk
memperolehnya bersama dengan makhluk sejenisnya. Diantara cara untuk
mencapainya adalah dengan sering bertemu. Manfaat dari hasil pertemuan
diantaranya adalah akan memperkuat akidah yang benar dan kestabilan cinta kasih
sesamanya. Upaya untuk ini, antara lain dengan melaksanakan kewajiban syari’at.
Shalat berjama’ah menurut Ibn Miskawaih merupakan isyarat bagi adanya kewajiban
untuk saling bertemu, sekurang-kurang satu minggu sekali. Pertemuan ini bukan
saja dengan orang-orang yang berada dalam lingkungan terdekat tetapi sampai
tingkat yang paling jauh.
Untuk mencapai keadaan lingkungan yang demikian itu,
menurut Ibn Miskawaih terkait dengan politik pemerintahan. Kepala Negara
berikut aparatnya mempunyai kewajiban untuk menciptakannya.
Karena itu, Ibn Miskawaih berpendapat bahwa agama dan
negara ibarat dua saudara yang saling melengkapi satu dengan yang lainnya
saling menyempurnakan.
Lingkungan pendidikan selama ini dikenal ada tiga
lingkungan pendidikan yaitu lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ibn
Miskawaih secara eksplisit tidak membicarakan ketiga masalah lingkungan
tersebut. Ibnu Muskawaih membicarakan lingkungan pendidikan dengan cara
bersifat umum, mulai dari lingkungan sekolah yang menyangkut hubungan guru dan
murid, lingkungan pemerintah sampai lingkungan rumah tangga yang meliputi
hubungan orang tua dengan anak. Lingkungan ini secara akumulatif berpengaruh terhadap
terciptanya lingkungan pendidikan.
6) Metodologi Pendidikan
Metodologi Ibn Miskawaih sasarannya adalah perbaikan
akhlak, metode ini berkaitan dengan metode pendidikan akhlak. Ibn Miskawaih
berpendirian bahwa masalah perbaikan akhlak bukanlah merupakan bawaan atau
warisan melainkan bahwa akhlak seorang dapat diusahakan atau menerima perubahan
yang diusahakan. Maka usaha-usaha untuk mengubahnya diperlukan adanya cara-cara
yang efektif yang selanjutnya dikenal dengan istilah metodologi.
Ada beberapa metode diantaranya :
a. Metode alami
(tabi’iy)
Ibnu Miskawaih
mengatakan bahwa ide pokok dari metode alami ini adalah dalam pelaksanaan kerja
dan proses mendidik itu berdasarkan atas pertumbuhan dan perkembangan manusia
lahir batin, dan jasmaniah dan rohaniah.
b. Nasihat dan tuntunan
Ibnu Miskawaih
menyatakan supaya anak menaati syariat dan berbuat baik diperlukan nasihat dan
tuntunan.
c. Metode
Hukuman
Ibnu Miskawaih
mengindikasikan banyak sekali yang dapat dilakukan dalam mendidik salah satunya
jika peserta didik tidak melaksanakan tata nilai yang telah diajarkan, mereka
diberi sanksi berbagai cara sehingga mereka kembali pada tatanan nilai yang
ada.
d. Sanjungan dan pujian sebagai metode
pendidikan
Menurutnya
apabila peserta didik melaksanakan syariat dan berperilaku baik dia perlu
dipuji.
e. Mendidik berdasarkan asas-asas pendidikan
Menurutnya
mendidik harus berdasarkan asas-asas pendidikan yaitu asas kesiapan,
keteladanan, kebiasaan, dan pembiasaan. [[23]]
3. Relevansi Pemikiran Pendidikan Ibnu
Miskawaih dengan pendidikan di Indonesia
Bangsa Indonesia sebagai bangsa
besar mempunyai pekerjaan yang berat dan luar biasa untuk menyiapkan generasi
unggul yang diharapkan mampu mewarnai kehidupan kebangsaan dengan jiwa dan
nilai-nilai luhur yang telah diwariskan dan juga mampu menjawab berbagai
problematika kekinian yang semakin komplek dan begitu cepat perubahannya.
Pendidikan sebagai ujung tombak
menjadi garda depan dalam konteks menghadapi berbagai persoalan bangsa. Dalam
Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah
ditegaskan bahwa :
“Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”[[24]]
Untuk menjunjung tinggi martabat
kehidupan bangsa peran pendidikan akhlak tidak bisa dianggap sepele. Membutuhkan
keseriusan dan kerja secara sistematis. Peran keluarga, masyarakat, sekolah dan
pemerintah harus saling bersinergi untuk mengawal proses pendidikan yang
berbasis akhlak dan budi pekerti.
Konsep-konsep pendidikan akhlak
Ibnu Miskawaih kiranya dapat menjadi ruh bagi pengembangan program pemerintah
melalui pendidikan karakter. Baik dari materi, metode maupun semangat yang
telah dirintis oleh Seorang Ibnu Miskawaih dapat menjadi acuan dalam menerapkan
pendidikan karakter di Indonesia.
Sebagaimana kita ketahui bahwa
pendidikan karakter adalah pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti,
pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk
memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik dan mewujudkan
kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.
Adapun nilai-nilai karakter yang
dikembangkan oleh pusat kurikulum meliputi nilai religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras,
kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah
air, mengharagai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca,
peduli social dan tanggung jawab.
Disinilah perlunya ada kesadaran
bagi semua warga negara bahwa kemunduran atau degradasi moral yang melanda
negeri ini sudah sampai pada tingkat yang memprihatinkan , apabila tidak segera
dibangun kembali jiwa menegakkan kebenaran dikhawatirkan masyarakat sudah
merasa biasa melihat hal-hal keburukan bukan lagi dianggap sebagai
penyimpangan, baik dari sisi agama maupun adat istiadat ketimuran.
Dari semua lini mulai keluarga,
satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia
usaha dan media massa harus berperan dan berkontribusi untuk semangat
menjunjung nilai-nilai luhur sebagaimana diamanatkan Pancasila.
Oleh karena itu konsep pemikiran
Ibnu Miskawaih mempunyai relevansi yang sangat kuat terhadap sistem pendidikan
di Indonesia dalam pengembangan pendidikan karakter atau akhlak mulia. Dan akan
berhasil dengan baik manakala dunia pendidikan keberhasilannya tidak hanya
diukur dari pencapaian target angka-angka, tanpa juga melihat proses yang
elegan dan sportif dengan mempertimbangkan akhlak anak didik.
Nostalgia adanya Pendidikan Moral
Pancasila sebagai penyeimbang Pendidikan Agama serasa sangat dirindukan dengan
sehingga moral anak bangsa yang semakin hari luntur segera dapat dikembalikan
ke jalan yang semestinya.
Perlunya disadari bahwa selama ini
regulasi yang melindungi guru sebagai pelaku proses pendidikan di Indonesia
masih lemah, sehingga penerapan metode seperti apa yang dirumuskan oleh Ibnu
Miskawaih masih menemui kendala terutama penerapan hukuman yang edukatif. Guru
menjadi pihak yang lemah apabila dilihat dari perspektif HAM yang membabi buta.
Wallahu a’alam.
III.
KESIMPULAN DAN PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan
di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Akhlak menurut Ibnu Miskawaih adalah
suatu sikap mental atau keadaan jiwa yang mendorongnya untuk berbuat tanpa
pikir dan pertimbangan. Sementara tingkah laku manusia terbagi menjadi dua
unsur, yakni unsur watak naluriah dan unsur kebiasaan dan latihan.
2.
Tujuan ilmu akhlak adalah membawa
manusia kepada kesempurnaan. Kesempurnaan manusia terletak pada pemikiran dan
amal perbuatan. Yaitu kesempurnaan ilmu dan kesempurnaan amal.
3. Ibnu
Miskawaih mencoba mengompromikan kedua pandangan Plato dan Aristoteles.
Menurutnya, karena pada diri manusia ada dua unsur, yaitu jiwa dan badan, maka
kebahagiaan meliputi keduanya. Hanya kebahagiaan badan lebih rendah tingkatnya
dan tidak abadi sifatnya jika dibandingkan dengan kebahagiaan jiwa.
4.
Sumber prilaku manusia ada tiga
yaitu daya nafsu (al bahimiyyah), daya kebuasan/keberanian (al ghadabiyyah0 dan
daya berfikir (al nathiqah).
5.
Keberhasilan pendidikan akhlak
dapat dicapai apabila adanya sinergi antara tujuan, materi, pendidik dan anak
didik (keluarga, guru, lingkungan) dan metode yang tepat.
6.
Pendidikan karakter di Indonesia
dapat berhasil apabila didukung dengan sumber daya manusia ( Pendidik dan anak
didik) juga regulasi dari pemerintah.
B. Penutup
Ibnu
Miskawaih seorang filofos muslim yang memusatkan perhatiannya pada etika Islam.
Meskipun sebenarnya ia adalah seorang sejarahwan, tabib, ilmuan dan sastrawan.
Pengetahuannya sangat luas, terutama mengenai kebudayaan Romawi, Persia,dan
India disamping ia menguasai filsafat Yunani.
Konsep
akhlak yang dikembangkan Ibnu Miskawaih lebih dekat bila dikatakan sebagai
etika religius-filosofis, karena pemikirannnya yang diutarkannya selalu
didasarkan atas tuntunan ajaran agama. Sehingga tidak jarang apabila dalam
tulisanya ditemukan berbagai ayat al Quran dan Hadits sebagai pendukung
argumentasinya. Sementara itu, ia juga mengambil pemikiran-pemikiran para
filosuf sebelumnya, terutama filsafat Aristoteles. Namun selanjutnya, menjadi
lebih khas tulisan-tulisannya adalah ia memadukan antara hasil kerja filosuf
dan ajaran syariat Islam.
Konsep
pemikiran tentang akhlak dapat diadopsi sebagai khasanah pengembangan dan
pendalaman pendidikan karakter di Indonesia.
Demikian ,
kritik dan saran konstruktif selalu diharapkan untuk kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
§ Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri
Kajian Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003)
§ Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1992).
§ Ahmad Syar'i,Fisafat Pendidikan Islam(Jakarta:Pustaka Firdaus,
2005)
§ A. Mustafa, Fisafat
Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997)
§ Departemen Agama RI, Al qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta,
1985)
§ Hasymsyah Nasution MA,Filsafat Islam(Jakarta:Gaya
Media Pratama, 1999)
§ Ibn Miskawaih, Tahzib
al-Akhlaq, (Beirut: Mansyurat al-Jamal, 2011)
§ Mahmud, Pemikiran Pendidikan
Islam, (Bandung, Pustaka Setia,, 2011).
§ M.M.Syarif,Para Filosof Islam,cet.III.(Bandung:Mizan,
1996),
§ Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam. (Jakarta: Fajar Interpratama
Offset, 2005).
§ Muhaimin, Konsep Pendidikan Islam (Solo, ramadhan,
1991)
§ Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosuf dan
Filsafatnya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2009).
§ UU RI Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen serta UU RI No. 20 Tahun 2003
[2] UU
RI Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta UU RI No. 20 Tahun 2003.
[3] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosuf dan
Filsafatnya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2009). Hal. 127.
[5] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh
Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2003). Hal. 6
[6]
Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam. (Jakarta:
Fajar Interpratama Offset, 2005). Hal. 327-328.
[15] Al Quranul Karim, diantara ayat yang menyebut persoalan
ini ialah: 1) surat al-Hijr (15); 28-31, 2) surat al-Sajdat (32);7-9, 3) surat
Shad (38);71-74
Tidak ada komentar:
Posting Komentar