FENOMENA MEMUDARNYA KARISMA ULAMA
SEBAGAI TOKOH AGAMA DALAM PILKADA
Pemilihan langsung Kepala Daerah
menjadi konsensus politik nasional, yang merupakan salah satu instrument
penting penyelenggaraan pemerintahan setelah digulirkannya otonomi daerah di
Indonesia. Sedangkan Indonesia sendiri telah melaksanakan Pilkada secara
langsung sejak diberlakukannya Undang-undang nomor 32 tahun 2004. tentang
pemerintahan daerah. Hal ini apabila dilihat dari perspektif desentralisasi,
Pilkada langsung tersebut merupakan sebuat terobosan baru yang bermakna bagi
proses konsolidasi demokrasi di tingkat lokal. Pilkada langsung akan membuka
ruang partisipasi yang lebih luas bagi masyarakat dalam proses demokrasi untuk
menentukan kepemimpinan politik di tingkat lokal.
Pada dasarnya Pilkada langsung
adalah memilih Kepala Daerah yang profesional, legitimate, dan demokratis, yang
mampu mengemban amanat otonomi daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Namun pilkada langsung hanya
dijadikan ajang perebutan kekuasaan, sehingga berbagai upaya dilakukan untuk
merebut suara pemilih. Ada indikasi kuat masing-masing kandidat dengan segala
cara termasuk yang dilarang seperti “money politic” untuk mendapat dukungan.
Mereka juga tidak segan-segan mengeksploitasi masyarakat dan sentimen
primordial untuk menarik simpati meskipun disadari bahwa cara itu
kontraproduktif terhadap perkembangan demokrasi. Banyak indikator yang
menunjukkan bahwa pendekatan yang digunakan para kandidat untuk mendekati
masyarakat lebih menonjolkan primordialisme. Hal itu tercermin dari ajakan
untuk memilih dengan memakai sentimen kesukuan, agama, golongan, dan wilayah
tertentu.
Di sisi lain keterlibatan para tokoh
agama khususnya ulama (kiai) sebagai tokoh islam masih menjadi perhitungan bagi
para kandidat untuk mendulang suaranya. Peran
ulama memberikan pengaruh yang cukup
besar dalam perpolitikan di Indonesia. Tebukti dengan partai-partai islam dan
partai berbasis islam menjadi partai penguasa dalam roda pemerintahan. Peran
pesantren dan ulama mampu memobilisasi massa dalam mempengaruhi suara dalam
pemilu di diberbagai wilayah, baik itu pemilu legislatif maupun pemilu kepala
daerah. Sehingga tidak heran banyak politisi dan partai berlomba-lomba menarik
simpati ulama untuk mendapatkan suara dalam pemilu. Bahkan ada juga sebagian
ulama yang terjun langsung bahkan mencalonkan dirinya sebagai calon kepala
daerah. Inilah fenomena yang sangat menarik untuk di kritisi.
1. Mengapa ulama di daerah saat ini banyak
yang terlibat langsung dalam ranah – ranah politik praktis, terutama dalam
pilkada?
2. Bagaimana cara merevitalisasi peran
dan fungsi ulama dalam perpolitikan di daerah ?
Kata
“ulama” adalah bentuk jamak dari kata alim, artinya orang yang berilmu.
Dalam pengertian asli, ulama adalah ilmuan, baik di bidang agama, humaniora,
sosial maupun kealaman. Dalam pengertian selanjutnya, pengertian ini menyempit seperti
yang ditulis dalam Kamus besar Bahasa Indonesia; ulama
adalah orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama islam. Di
Indonesia ulama memiliki sebutan yang berbeda-beda di berbagai daerah seperti
Kiai (Jawa), Ajengan (Sunda), Tengku (Aceh, Syeikh (Sumatra), Buya
(Minangkabau), dan Tuan Guru (NTT dan Kalimantan).
Gelar
sebagai ulama itu tidak saja dapat di kondisikan, ia muncul pada diri seseorang
yang telah memiliki syarat-syaratnya, sedangkan bobot keulamaannya ditentukan
oleh kedalaman ilmu dan intregitas pribadinya yang teruji di tengah-tengah
masyarakatnya, pengakuan masyarakat ini ikut menentukan, sebab betapapun
dalamnya pengetahuan seseorang tentang masalah agama, tapi jika
masyarakat tidak memberikan pengakuan, maka ia tidak mempunyai kredibilitas
sebagai ulama. Ada beberapa kriteria seseorang dapat dikatakan sebagai ulama,
diantaranya:
Pertama, ulama dalam arti orang-orang yang mempunyai
pengetahuan yang luas dalam agama, dengan atau tanpa pengakuan dari
masyarakat dan syarat-syarat lain.
Kedua, Ulama dalam arti banyak orang terlibat dalam
pelayanan masyarakat, khususnya dalam masalah keagamaaan, seperti
mengajar ngaji al-quran, bertabligh, yang di dalam masalah ini segi
keilmuan kadang-kadang kurang di syaratkan. Mereka dipanggil kiai dan di
kategorikan ulama dalam kehidupan islam, meskipun kerap kali ilmunya
sangat terbatas.
Ketiga, ulama dalam arti “warasatul anbiya” yakni bukan saja
memiliki kepandaian dan penguasaan dalam ilmu agama, tetapi juga memenuhi
tuntutan lain yang lebih berkaitan dengan sikap dan caa hidup, seperti
kesalehan, kewara’an, kesederhanaan, dan komitmen terhadap kesejahteraan umat
lahir batin
Peran ulama dalam politik selalu
menarik untuk dibahas. Hal ini dikarenakan, studi tentang ulama tidak
hanya dapat dilihat
dari satu faktor
saja (ulama sebagai
pemuka/tokoh agama),melainkan Ulama
mempunyai banyak wajah (multy faces) yang mencerminkan kompleksitas atau
keragaman cara pandangan ulama dalam berpolitik. Keterlibatan para Ulama dalam proses pemilihan Kepala
Daerah secara langsung
tidak bisa dihindarkan,
karena mereka adalah potensi lokal
yang dapat memberikan
kontribusi atau memberi
warna tersendiri bagi perpolitikan di
tingkat daerah. Dengan
kemampuannya bisa menciptakan
kondisi politik yang kondusif
dimana peran mereka sangat menentukan dalam menciptakan rakyat yang partisipatif.
Keterlibatan dalam penggalangan massa
misalnya, mereka mempunyai kemampuan masing–masing.
Ulama dengan
karismanya mampu menggeraknya
kesadaran masyarakat dalam menentukan pilihan. Hal ini
dikarenakan, pola hubungan ulama dan santri yang sangat erat, merupakan faktor
penting dan berpengaruh dalam menentukan pilihan politik. Hal ini juga didasarkan pada
fakta hubungan santri
dan ulama tidak
hanya terbatas pada
saat berada dalam dunia
pesantren.
Ulama sebagai elit lokal mempunyai
karakteristik tersendiri dalam memberikan dukungan. Ulama dengan
massa yang sangat
hormat kepadanya mampu
mendorong atau mendulung suara kemenangan untuk calon Bupati
atau Wakil Bupati. Sebagai imbalan atas jerih payah ulama, Kepala Daerah
(Bupati atau Wakil Bupati) akan memberikan berbagai macam fasilitas, sehingga
implikasi politik yang ada berpengaruh terhadap pilihan politik rakyat yang
sudah dipengaruhi oleh berbagai
macam iming–iming, tidaklah
lagi otonom karena
hak yang seharusnya lebih banyak
dimanfaatkan oleh rakyat sebagai cermin dari kedaulatan sudah teracuni berbagai
kepentingan materi dan kekuasaan. Tarik menarik “kepentingan” antara kandidat dengan
ulama menjadi hal
yang wajar. Hal
ini dikarenakan, posisi
ulama sangat menentukan keberhasilan
seorang calon Kepala Daerah. Ulama dengan karismanya mampu memobilisasi massa
dalam rangka penggalangan
massa untuk berkampanye.
Ketika ulama masuk dalam sistem
politik melalui parpol, secara otomatis ulama mendapat jatah untuk menjadi tim
sukses atau juru kampanye calon yang didukung oleh parpol yang bersangkutan.
Bermodal basis massa dan karisma, ulama mampu memainkan peran penting dalam
suksesi seorang calon Kepala Daerah.
Selain ulama terjun langsung ke gelanggang politik, ada ulama yang
hanya menjadi partisipan
atau hanya memberi
restu kepada calon tertentu. Keadaan
ini sebagai antisipasi
perkembangan pesantren dan
masa depan karir ulama jika ternyata calon yang didukung
kalah dalam pilkada. ulama tidak terlibat dalam kegiatan politik secara
langsung. Ia hanya menjadi pendukung di garis belakang. Artinya, tidak menjadi tim
sukses atau juru kampanye calon tertentu. Keterlibatan ulama dalam politik
hanya sebatas pemberian restu kepada calon yang datang dan memohon restu ke
pesantren. Lebih lanjut, pemberian restu tidak hanya diberikan kepada satu
calon saja, melainkan ketika ada calon yang datang ke pesantren sang ulama
dengan rela memberi restu untuk maju dalam pilkada.
Dari pemaparan di atas menunjukan
bahwa, keragaman atau kompleksitas ulama dalam berpolitik tidaklah tunggal.
Artinya, ulama tidak hanya menjadi tokoh atau panutan dalam hal agama saja,
melainkan, mempunyai peran
yang cukup signifikan
dalam perkembangan demokratisasi di
Indonesia.
Kiai atau ulama dipahami sebagai orang yang memiliki
pengetahuan keislaman yang mendalam dan luas, terutama di bidang hukum
Islam/fikih. Posisi penting ulama dalam masyarakat muslim terletak pada
eksistensinya sebagai pewaris para nabi (warasat al-anbiya’). Dalam era
Dinasti Abbasiyah, ulama berperan sebagai guru, dai, dan hakim (qadhi). Keluasan peran ulama juga terjadi
dalam masyarakat muslim Indonesia tempo dulu. Dalam Babad Tanah Jawa disebutkan
bahwa Wali Songo adalah penasehat raja-raja. Karena itulah wajar bila Clifford
Geertz menyebut ulama sebagai cultural broker yang menghubungkan
masyarakat dengan dunia luar.
Ulama
dalam perpolitikan di Indonesia bukanlah hal yang asing. Semenjak dahulu, peran
ulama dalam mendirikan bangsa Indonesia ini memang perlu diakui. Tidaklah
mengherankanjika ulama terlibat dengan urusan politik, atau bahkan ulama itu
sendiri yang dengan sengaja terjun sendiri ke panggung politik sebagai tokoh
utama partai politik. Sementara itu, sosok ulama adalah sosok yang dikenal
dengan pemandu umat (Islam) karena kepandaiannya dalamhal keilmuan Islam. Ulama
adalah pemimpin umat Islam, pewaris Nabi dalam menegakkandan menjalankan
perintah Tuhan.
Muhammad
Amin MS dalam bukunya ”Mengislamkan Kursi dan Meja, Dialektika Ulama dan
Kekuasaan” menguraikan dengan paparan yang nyata tentang perpolitikan di
Indonesia yang sering kali melibatkan atau menggunakan peran ulama. Bahkan
ulama itu sendirilah yang bermain politik dan menjadi tokoh utama dalam suatu
partai politik. Kursi diartikan sebagai singgasana yang mana hal tersebut dalam
dunia politik disebut dengan kekuasaan. Sementara meja mempunyai arti papan
sebagai tempat berkas-berkas birokrasi yang mana menjadi urusan kenegaraan.
Jika kursi dan meja tersebut dijadikan dalam satu istilah, kursi dan meja
berarti kekuasaan dalam birokrasi politik. Sementara keikutsertaan ulama yang
menjadi judul tersebut karena memang ulama mempunyai pengaruh dan daya gertak
besar dalam hal tersebut.
Bukanlah
hal asing jika ulama yang pada dasarnya telah memiliki umat (santri) yang
banyak, mampu memberikan pengaruh kepada mereka sebagai umat karena kharismanya
yang dianggap umatnya tinggi, terutama umat yang fanatik terhadap ulama
tersebut. Selain itu, ulama adalah sosok yang terpandang di mata masyarakat,
kharismanya melebihi lurah, camat, ataupun bupati sekalipun. Karena, tidak
sedikti para calon lurah, camat, bupati, atau kepala desa sering melakukan
sowan politik kepada para ulama dengan dalih meminta restu.
Ulama
sebagai politikus sekarang ini menjadi hal yang biasa karena pada dasarnya,
pendiri bangsa Indonesia pun banyak tokoh yang bergelar ulama sehingga perannya
di dunia politik menjadi kewajaran belaka. Yang menjadi keresahan adalah bahwa
ulama yang lalai akan statusnya sebagai ulama. Ulama yang seharusnya mempunyai
karakter agamis, malah melupakan nilai-nilai moralitas keagamaan. Yang lebih
parah lagi, menjual dalil-dalil kitab suci dengan harga yang murah hanya demi
kepentingan partai politiknya. Padahal, dalil-dalil tersebut merupakan
sakralitas dalam ajaran agama, bukan sesuatu yang bersifat profan. Dengan
demikian, luntur pula sakralitas teks-teks keagamaan sehingga menjadi
profanitas murahan.
Kehadiran
sosok ulama hendaknya menjadi teladan bagi elit politik yang lain, juga kepada
umat manusia di Indonesia khususnya. Ulama adalah sosok yang dikenal ‘alim
(berlimu) dan mempunyai moralitas yang baik. Dengan kehadiran ulama seharusnya
bisa mewarnai politik kekuasaan menjadi harmonis, bukan malah menambah kontras
permusuhan antargolongan atau antarpartai. Hal ini yang seharusnya diperhatikan
oleh ulama.
Sebenarnya
yang dititikberatkan adalah peranan ulama dalam melakukan aktualisasinya di
hadapan semua umatnya. Jika seorang ulama itu ikut andil dalam dunia politik,
maka tidak lain adalah untuk menjadi figur dan teladan yang baik, entah itu
bagi tokoh politikus yang lain atau masyarakat yang memandangnya. Namun jika
ulama tersebut tidak mau berkecimpung dalam dunia politik, maka sewajarnya
menjadi ulama yang sebenarnya. Artinya, ulama yang memang benar-benar mengasuh
dan menuntun umat agar mendapat siraman rohani dalam menjalani kehidupan
bersosial vertikal dan horizontal.
Belakangan
ini, banyak ulama yang tidak mau terjun dalam politik praktis. Misal, ketika
persaingan menjadi kepala daerah, bupati, calon legislatif, atau yang lainnya,
ulama yang seharusnya menjadi panutan malah memberi dukungan kepada salah
seorang calon. Tentu saja hal ini merupakan permainan politik atau malah
sekedar mencari popularitas belaka. Sungguh hal ini jauh dari moralitas dan
etika keagamaan. Namun memang sering terjadi, para calon itu melakukan sowan
politik kepada ulama dengan harapan ulama tersebut mampu menggerakkan umatnya.
Dengan demikian, umat dari ulama tersebut condong dan mengarah kepada calon yang
sowan ke ulama tersebut karena pengaruhnya.
Dengan
demikian, citra ulama tidak sedemikian relevan dengan gelar yang disandangnya.
Secara bahasa, ulama adalah bentuk jamak dari ‘alim yang berarti orang yang
berilmu (dalam bahasa Arab). Maksudnya, orang yang berilmu dan mumpuni dalam
khazanah kelimuan Islam. Namun ternyata, interpretasi tentang ulama kini
berkembang lebih luas seiring banyaknya fenomena yang terjadi. Arti ulama bukan
hanya sekedar orang-orang yang berilmu pada bidang keagamaan saja, namun juga
berilmu pada bidang politik.
Tak
dipungkiri ulama dalam terjun di perpolitikan bukanlah hal yang asing.
Semenjak dahulu, peran ulama dalam mendirikan bangsa Indonesia ini memang perlu
diakui. Tidaklah mengherankan jika ulama terlibat dengan urusan politik, atau
bahkan ulama itu sendiri yang dengan sengaja terjun sendiri ke panggung politik
sebagai tokoh utama partai politik. Bukanlah hal asing jika ulama yang pada
dasarnya telah memiliki umat (santri) yang banyak, mampu memberikan pengaruh
kepada mereka sebagai umat karena kharismanya yang dianggap umatnya tinggi,
terutama umat yang fanatik terhadap ulama tersebut. Selain itu, ulama adalah
sosok yang terpandang di mata masyarakat, kharismanya melebihi lurah, camat, ataupun
bupati sekalipun. Karena, tidak sedikti para calon lurah, camat, bupati, atau
kepala desa sering melakukan sowan politik kepada para ulama dengan dalih
meminta restu.
Kehadiran
sosok ulama hendaknya menjadi teladan bagi elit politik yang lain, juga kepada
umat manusia di Indonesia khususnya. Ulama adalah sosok yang dikenal ‘alim
(berlimu) dan mempunyai moralitas yang baik. Dengan kehadiran ulama seharusnya
bisa mewarnai politik kekuasaan menjadi harmonis.
Sebenarnya
yang dititikberatkan adalah peranan ulama dalam melakukan aktualisasinya di
hadapan semua umatnya. Jika seorang ulama itu ikut andil dalam dunia politik,
maka tidak lain adalah untuk menjadi figur dan teladan yang baik, entah itu
bagi tokoh politikus yang lain atau masyarakat yang memandangnya. Namun jika
ulama tersebut tidak mau berkecimpung dalam dunia politik, maka sewajarnya
menjadi ulama yang sebenarnya. Artinya, ulama yang memang benar-benar mengasuh
dan menuntun umat agar mendapat siraman rohani dalam menjalani kehidupan
bersosial vertikal dan horizontal.
Namun
terdapat suatu permasalahan saat ini ketika ulama di terjun langsung dalam
politik praktis. Menjelang perhelatan akbar Pilkada para calon kepala daerah
berbondong-bondong sowan ke pesantren – pesantren, minggu ini ke ulama ini,
minggu depan ke pesantren itu. Dan pesantren telah dipolitisasi oleh
kepentingan-kepentingan penguasa dalam hal ini pemimpin daerah itu sendiri. Dan
yang menjadi ironi saat ini adalah saat ulama sudah tidak mampu menjalankan
perannya dalam pemerintahan yakni sebagai teladan bagi para elit politik dan
para birokrat serta memberikan wejangan-wejangan terhadap penguasa dalam hal
ini pemerintah bilamana terdapat suatu kekeliruan dalam roda pemerintahan. Akan
tetapi jika menganalisa dari fakta yang ada saat ini, para ulama telah keluar
jalur yang seharusnya, mereka dengan terang-terangan mendukung salah satu calon
dan menjadi tim sukses salah satu calon. Bahkan di Kabupaten Kendal Tokoh Ulama
ikut maju menjadi salah satu calon meskipun pada akhirnya kebesaran nama ulama
tidak mempan lagi mendulang suara, dengan terbukti pasangan ulama yang diusung
parpolpun gugur telak.
Di titik ini, saat publik menilai
banyak ulama atau kiai yang mulai melupakan akar sosialnya dengan hidup di atas
menara gading kekuasaan dan kekayaan, sehingga publik pun kehilangan
kepercayaannya. Disaat publik mulai cerdas dan bukan lagi sebagai pemilih
tradisional tetapi lebih pada pemilih rasional faktor simbol keagamaan tidak
lagi menjadi pertimbangan utama.
Oleh karena itu perlu adanya revitalisasi
peran dan fungsi ulama dikembalikan kepada ruhnya sebagai pemimpin umat (semua
umat) bukan sekedar pemimpin partai politik yang sempit. Dunia pesantren
sebagai rumahnya para ulama perlu dinetralisasi dari kontaminasi politik
praktis yang justru tidak menguntungkan bagi dunia pesantren dan ulamanya,
malah menurunkan martabatnya sebagai gudang dan lautan ilmu keagamaan. Kecerdasan
dan meningkatnya pola pikir masyarakat yang semakin berkembang harusnya dijawab
oleh kesalehan dan keilmuan dari ulamanya. Tidak bisa disalahkan apabila setiap
fatwa ulama yang disampaikan pada masyarakat tidak lagi berpengaruh secara
signifkan karena antara disiplin ilmu, perilaku dan teladan dari ulama yang
tidak lagi sinergi.
Harus ada komitmen bersama bahwa
ulama janganlah diseret-seret untuk kepentingan jangka pendek demi kekuasaan.
Ulama harus ditempatkan sebagai pihak yang diposisikan sebagai pemberi teladan dan pengontrol
kebijakan-kebijakan pemerintah. Bukan malah sebaliknya ulama hanya sebagai
stempel kebijakan pemerintah yang menguntungkan pihak-pihak tertentu (partai
politik).
Dengan telah berubahnya persepsi
publik terhadap ulama, tampaknya elit politik yang hendak maju di Pilkada perlu
berfikir ulang jika ingin memanfaatkan ulama sebagai vote getter. wallahu
a’lam.
Ulama
merupakan salah satu sosok yang berpengaruh besa dalam kehidupan politik di
daerah, dengan latar belakang historis yang kuat dan kebudayaan yang telah
melekat di masyarakat. Peran ulama menjadi tauladan para elit dan birokrat,
serta senantiasa bersama-sama dengan rakyat mengawal jalannya pemerintahan dan
meluruskan bilamana pemerintah keluar dari rel yang telah ditentukan, dalam hal
ini adalah konstitusi.
Akan
tetapi saat ini, terutama menjelang pilkada. Karakter dari ulama itu sendiri
sudah hilang, ulama dan pesantren saat ini telah dimakan dan dipolitisasi oleh
kepentingan-kepentingan para elit dan birokrat. Sehingga ulama saat ini
cenderung bersifat pragmatis, ditambah pula dengan hegemoni asing di bidang
perekonomian yang menyebabkan paradigma di masyarakat Indonesia betapa
pentingnya kedudukan uang diatas segalanya. Jadi wajarlah bilamana kebanyakan
masyarakat Indonesia bersikap pragmatis dan hedonis.
Untuk
merevitalisasi peranan ulama dalam mengawal perpolitikan di daerah ada beberapa
hal yang bisa dijadikan acuan sebagai solusi. Ulama membangun dan meningkatkan
kesadaran ideologis pada diri ulama. Kesadaran ini bisa ditumbuhkan
dengan cara selalu memantau peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian politik
internasional maupun regional, yang kemudian dianalisis berdasarkan sudut
pandang akidah dan syariah Islam. mendorong ulama untuk berperan lebih aktif
dalam urusan-urusan kemasyarakatan dan kenegaraan. Dengan kata lain,
ulama harus didorong untuk melakukan peran politis-ideologis. Peran ini
bisa diwujudkan oleh ulama dalam bentuk membina umat dengan ajaran Islam yang
utuh, mengajak umat untuk menerapkan kembali syariah Islam secara kâffah,
dan mengarahkan umat untuk terlibat dalam upaya mengubah masyarakat kufur menjadi
masyarakat Islam. Harus ada upaya serius yang ditujukan untuk menyatukan
kembali para ulama dalam satu visi dan misi, yakni penegakkan syariah Islam .
B. SARAN
Untuk
menciptakan suatu sistem dan budaya politik yang baik, maka haruslah diawali oleh
tindakan yang baik dari para elit politik dan birokrat. Hentikan money politik
dalam pilkada, kurangi cost politik dalam pilkada. Tunjukan integritas dan
kredibilitas sebagai seorang pemimpin yang akan mensejahterakan masyarakat Indonesia.
–
Amin MS, Muhammad. 2009. Mengislamkan Kursi dan Meja; Dialektika Ulama dan
Kekuasaan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
–
Budiarjo, Miriam. 2010. Dasar-dasar Ilmu
Politik. Gramedia Pustaka. Jakarta
-
Departemen Pendidikan Nasional,
2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
-
Geertz, Clifford, 1989, Abangan,
Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa,Pustaka Jaya: Jakarta
–
Syamsudin, Fathiy.2010.Menguatkan
Peran dan Fungsi Ulama.
SUMBER
LAIN :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar