Selasa, 08 Juni 2010
“ CHARACTER BUILDING” HARUS DARI MANA?
“Assalamu’alaikum Pak!”, “Selamat pagi Bu !” satu persatu anak antri untuk sekedar bersalaman. Sederhana memang, tapi itu sering kita abaikan selaku seorang guru (baca:pendidik). Itu adalah salah satu dari sekian banyak contoh hal-hal yang ringan namun mempunyai arti yang mendalam dalam pendidikan moral anak. Lalu, pesan apa yang dapat kita maknai? Mari kita tengok bersama-sama.
Sekolah adalah salah satu diantara sekian lembaga yang bertujuan untuk mencetak generasi yang handal dan mumpuni dalam segala bidang serta berkepribadian luhur. Ada satu tanggung jawab besar dipundak sekolah yang harus selalu dibangun dan dikembangkan, yaitu karakter para peserta didiknya, dengan harapan mereka setelah lepas dari sekolah mempunyai bekal dalam hidup bermasyarakat dengan tidak hanya pandai dalam ilmu-ilmu pengetahuan saja, melainkan juga harus memiliki kepribadian yang menjunjung tinggi akhlak mulia.
Langkah ini memang harus segera diambil untuk dapat mengimbangi gempuran-gempuran teknologi informasi yang sedikit banyak telah merubah gaya hidup yang cenderung pragmatis, hedonisme, egoisme, dan asosial.
Mungkin dari ilustrasi di atas, anak akan mempunyai rasa hormat kepada orang yang lebih tua, guru dan siapa saja yang ia temui. Pembiasaan-pembiasaan perilaku yang baik, taat ibadah, sopan santun, cinta kebersihan, semangat kerja sama atau gotong royong memang perlu dioptimalkan.
Kepedulian terhadap nilai-nilai tersebut agaknya mulai pudar, dalam konteks pendidikan di sekolah agaknya semakin terpinggirkan dengan semakin jauhnya fungsi sekolah yang asalnya sebagai saran untuk mendidik, sekarang lambat laun akan bergeser sebagai lembaga bimbingan belajar yang hanya mengantar siswa-siswanya untuk “hanya sekedar” memperoleh nilai kuantitatif.
Nah, sekarang dari mana kita harus mulai berbenah, jawabnya adalah dari diri kita (pendidik dan tenaga pendidikan) selaku orang yang jadi public figure di sekolah selain membekali anak-anak dengan segudang ilmu pengetahuan, juga perlu dan penting untuk pula ditanamkan karakter dengan sentuhan norma-norma agama dan budaya luhur. Peran pendidik dan tenaga kependidikan tidak diragukan lagi bagi keberhasilan pembangunan karakter anak, yaitu melalui contoh atau teladan langsung serta keterlibatan secara langsung mutlak adanya, tidak hanya sekedar menyuruh tapi juga melakukan. Contoh konkrit adalah guru harus di depan misalnya dalam ibadah, kebersihan, rapi dalam pakaian, lembut tutur kata, tepat waktu, dan sebagainya, Insya Allah akan lebih berhasil. (Kang Wahid)
Rabu, 19 Mei 2010
Quo vadis Pendidikan Kita
Setiap akhir tahun, tepatnya saat Ujian Nasional masyarakat selalu resah, apalagi yang mempunyai anak yang sedang berjuang untuk dapat lulus. Terlepas dari itu sebetulnya ada hal yang sangat mengkhawatirkan bagi dunia pendidikan di tanah air ini mengapa?.
Sekarang masyarakat akan berpikiran secara instan dan pragmatis menyikapi UN, dan tidak kalah 'mengerikan' lagi lembaga pendidikan (baca;sekolah) menyikapi hal ini sama seperti masyarakat umumnya, alhasil apa yang terjadi?, yang penting tugas sekolah adalah dituntut hanya mempersiapkan anak hanya untuk menghadapi UN saja, "ironis bukan?" faktor-faktor pendidikan yang lain terabaikan bahkan substansi dari mendidik akan terkalahkan hanya untuk mengejar angka-angka kelulusan semata.
Ini tidak ubahnya sekolah hanya sebagai lembaga bimbingan belajar semata, bukan mendidik menjadi manusia yang seutuhnya, lihat saja sekolah ada yang berani selama semester dua di kelas IX SMP atau kelas XII SMA hanya diberikan materi mapel UN saja.
Melihat fenomena di atas rupanya banyak yang salah kaprah, pemerintah memaksakan kebijakan yang sebetulnya akan menjebak pada anak-anak pada pola pikir instan 'yang penting lulus', soal proses tidak perlu dipikir, mapel non-Nas nanti dulu, apalagi soal akhlak itu belum penting, sekali lagi 'pokoknya lulus'.
Tidak aneh bila kita mendengar ada kecurangan di sana-sini baik oleh anak sendiri, maupun pihak sekolah yang berani mempertaruhkan kredibilitasnya dengan membantu siswa-siswanya dalam ujian.
Maka jangan heran kalau kebijakan pendidikan masih seperti ini, bukan tidak mungkin korupsi, ketidak jujuran,dan sikap menghalalkan segala cara akan terus ada dan merajalela di negeri ini karean generasinya tidak dididik secara utuh sebagai manusia tapi hanya untuk meraih angka-angka sesaat.Lalu siapa yang salah, anak, guru, orang tua, atau pemerintah. Wallahu a'lam
Selasa, 18 Mei 2010
Ta'aruf
Langganan:
Postingan (Atom)